Senin, 02 November 2015

Mendurhakai Orang Tua Menuai Petaka

Kita sudah lama mendengar bahwa Rasul SAW pernah bersabda, “Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu” (Musnad Syihab al-Qadhai). Namun, saat ini, saat kehidupan makin sekuler dan liberal, tak sedikit anak-anak Muslim yang tidak lagi menghormati apalagi berbakti kepada kedua orang tuanya. Tak sedikit anak yang tidak sopan dalam berbicara kepada orang tua, tidak berterima kasih kepada orang tua, menentang perintahnya bahkan menyakiti perasaan orang tua. Yang lebih parah, ada anak yang sampai tega menyakiti orang tua secara fisik, bahkan membunuh orang tuanya sendiri. Padahal Allah SWT telah berfirman : “Tuhanmu telah mewajibkan agar kalian tidak menyembah selain Dia dan agar kalian berbuat baik kepada kedua orang tua” (TQS Al-Isra’ [17 : 23]).
Terkait itu, Ibn Abas Ra berkata “Ada tiga ayat yang turun, yang di dalamnya satu perkara dikaitkan dengan perkara lainnya; yang salah satunya tidak bisa diterima tanpa melibatkan yang lainnya. Pertama: Firman Allah SWT yang berbunyi, ‘AthiullLah wa a’thiur-Rasul (Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul)’” Siapa saja yang menaati Allah tetapi tidak menaati Rasul maka ketaatannya tidak diterima. Kedua; Firman Allah, “Aqimush-shalah wa atuzakah(Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat)” Siapa saja yang menunaikan shalat tetapi tidak mau membayar zakat maka shalatnya tidak diterima. Ketiga; Firman Allah, “An asykurLi wa liwalidayka (Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu)” Siapa saja yang bersyukur kepada Allah tetapi tidak bersyukur (berterima kasih) kepada kedua orang tuanya maka syukurnya tidak diterima. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda, ‘RidhalLah fi ridha al-walidayn wa sukhtulLah fi sukhti al-alidayn (Ridha Allah ada pada ridha orang tua. Murka Allah ada padamurka orang tua)’. (Adz-Dzahabi, Al-Kabair, I/13)

Ibn Umar berkata bahwa seorang laki-laki pernah meminta izin kepada Nabi SAW untuk berjihad bersama beliau. Nabi bertanya, “Apakah orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab, “Ya” Lalu Nabi SAW bersabda “Berbaktilah kepada kedua orang tuamu terlebih dulu, lalu berjihadlah” (HR Al-Bukhari dan Muslim). 
Dalam hadist ini jelas sekali, berbakti kepada orang tua dan melayani mereka lebih diunggulkan/diutamakan daripada berjihad di jalan Allah SWT.
Durhaka kepada orang tua adalah dosa besar sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW bersabda, “Maukah kalian aku beri tahu dosa besar yang paling besar; Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Perhatikanlah, bagaimana Rasul SAW mengaitkan sikap buruk dan durhaka kepada kedua orang tua dengan sikap menyekutukan Allah SWT.
Rasul juga bersabda, “Andai Allah menginformasikan ada yang lebih remeh dari sekedar mengucapkan kata ‘Ah!’ (kepada orang tua) maka pasti Allah akan melarang hal demikian. Karena itu lakukan saja oleh orang yang durhaka kepada kedua orang tua apa saja yang mereka inginkan, niscaya mereka tidak akan pernah masuk surga. Lakukan pula oleh orang-orang yang berbakti kepada kedua orang tua apa saja yang mereka kehendaki, niscaya mereka tidak akan pernah masuk neraka selama-lamanya” (Adz-Dzahabi, Al-Kaba-ir, I/14)
Durhaka kepada orang tua akan mendatangkan azab yang cepat bagi pelakunya. Rasul SAW bersabda, “Setiap dosa Allah tunda (azabnya) sampai Hari Kiamat, kecuali dosa durhaka kepada orang tua; maka azabnya Allah segerakan atas pelakunya di dunia sebelum dia mati.” (HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman).
Terkait durhaka kepada kedua orang tua, Kaab al-Ahbar pernah ditanya, ”Apa yang dimaksud dengan durhaka kepada kedua orang tua?” Ia menjawab “Yaitu jika ayah atau ibunya membagi sesuatu kepada dia, dia tidak menerimanya dengan baik; jika keduanya memerintah dia, dia tidak melakukannya; jika keduanya meminta kepada dia, dia tidak memberi; jika keduanya memberi amanah, dia tidak tunaikan”(Adz-Dzahabi, Al-Kaba-ir, I/14)
Abu Hurairah Ra berkata bahwa Rasul SAW pernah bersabda, “Ada empat kelompok manusia yang menjadi hak Allah untuk tidak memasukkan mereka ke dalam surga Nya dan mereka tidak menikmati sedikitpun nikmat surga di dalamnya; pemeras khamer, pemakan riba, pemakan harta anak yatim secara zalim dan orang yang durhaka kepada kedua orang tua – jika mereka tidak bertobat.” (Adz-Dzahabi, Al-Kaba-ir, I/14)
Terkait berbakti kepada orang tua, Rasul SAW memberikan tuntunan. Seseorang pernah datang kepada Rasulullah dan bertanya, “Ya Rasulullah, siapa yang lebih berhak aku pergauli secara baik?” Rasul menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Lalu siapa?” Rasul menjawab, “Ibumu” Orang itu bertanya lagi, “Lalu siapa?” Rasul menjawab, “Ibumu” Orang itu bertanya lagi, “Lalu siapa?” Rasul, “Ayahmu, lalu orang-orang terdekatmu dari yang paling dekat” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

WalLahu a’lam bi ash-shawab

[..Baca Selengkapnya..]

Jumat, 30 Oktober 2015

Siapa yang Lebih Didengarkan Oleh Anak Kita?

Apakah yang dapat kita renungkan dari kisah Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalaam? Keduanya adalah nabi yang Allah Ta’ala berikan kemuliaan amat tinggi. Keduanya adalah rasul, orang yang diutus Allah ‘Azza wa Jalla untuk menyampaikan risalah agar orang-orang yang ingkar kepada Allah Ta’ala menjadi manusia beriman. Dan seorang nabi, akhlaknya pasti terjaga, imannya sudah jelas luar biasa dan ‘ibadahnya tak perlu kita ragukan.
Mereka berdua adalah manusia pilihan sepanjang zaman. Jangan tanya kesungguhan keduanya ‘alaihimassalaam bermunajat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak mungkin seorang nabi lemah ‘ibadahnya dan rapuh keyakinannya.Tidaklah mereka berdo’a kepada Allah Ta’ala melainkan sepenuh keyakinan dan amat besar pengharapannya. Tetapi ini semua tak mencukupi untuk mengantarkan anak-anak agar menjadi manusia beriman. Kita belajar dari sejarah agama ini betapa putra kedua Nabi ‘alaihimassalaam ini justru termasuk ahli neraka dengan siksa yang kekal. Na’dzubillahi min dzaalik.
Mengapa bisa demikian? Mari sejenak kita renungi firman Allah Ta’ala, “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shaleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari(siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); ‘Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)’.(QS. At-Tahriim, 66: 10).
Apa yang dapat kita renungkan dari ayat ini? Ada beberapa hal. Sebagian di antaranya adalah, betapa kita amat perlu bersungguh-sungguh mendidik anak-anak kita dan menghindarkan mereka sejauh-jauhnya dari siksa neraka. Jika hari ini kita tak tega melihat penderitaan mereka di dunia, lalu merasa amat khawatir dengan “masa depan mereka” sesudah dewasa nanti, maka tegakah kita membiarkan wajahnya melepuh dibakar api neraka? Sedangkan seorang nabi pun tak sanggup mengelakkan anaknya dari siksa neraka jika tak ada iman di hati orang yang amat dicintai tersebut. 
Ayat ini secara jelas menunjukkan kepada kita betapa khianatnya seorang istri akan meruntuhkan bangunan iman di rumah kita, meski kita tak putus berdakwah dan tak lelah menyampaikan risalah-Nya. Segenggam iman anak kita akan terlepas begitu saja jika istri tak satu kata dengan suami. Ayahnya memang beriman, tapi ibu yang setiap saat mendekap dan mengasuhnya terlepas dari iman, sehingga anak pun tak sanggup menggenggam iman kepada AllahTa’ala.
Bayangkan. Mereka hidup di masa ketika pengaruh dunia luar tak sebanyak sekarang. Ada tetangga, tapi saling berjauhan jika diukur dari dekatnya tetangga di zaman kita. Tak ada media massa yang mencecar dengan berbagai hal secara masif, intensif dan terus-menerus sebagai sekarang. Tak ada internet, tak ada juga pembantu rumah-tangga maupun lembaga pendidikan formal. Tetapi ketika ayah dan ibu sudah tidak sejalan, maka segenggam iman di hatianak tak dapat tumbuh mengakar dengan kuat. Maka, apakah yang dapat kita renungkan untuk kita hari ini? Apakah yang dapat kita renungkan tentang anak-anak kita?
Cara paling aman yang dapat kita lakukan agar anak tak terpapar pengaruh dari luar adalah mendidik sendiri anak kita di rumah. Tidak mengirim mereka ke sekolah. Tetapi ada syaratnya. Pertama, kita memang harus benar-benar mengilmui apa yang kita akan ajarkan sekaligus mengilmui bagaimana mengajarkannya kepada anak. Kedua, kita harus dapat menjamin bahwa orang-orang yang tinggal serumah dengan kita juga harus sejalan dan sepaham dengan kita. Ketiga, kita mendidik mereka secara total sehingga anak-anak memperoleh bekal yang mencukupi.
Nah, pertanyaannya, siapkah kita untuk itu semua? Jika tidak, maka pilihan kita adalah secara sengaja mengizinkan orang lain mempengaruhi anak kita melalui sekolah. Merekalah guru-guru yang memang secara khusus belajar bagaimana mendidik anak. Tetapi ini pun tidak cukup. Jika guru hanya mengajarkan materi pelajaran, sementara mereka tak punya komitmen yang tinggi dan kepedulian terhadap iman anak-anak kita, maka jangan terkejut jika anak-anak fasih berbicara tetapi hampa imannya. Mereka pandai berbicara tentang agama, tapi tak meyakininya sepenuh jiwa.
Selain guru, ada sumber pengaruh lainnya yang potensial.Anak pasti akan bergaul dengan teman-temannya. Mereka berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Maka ketika datang ke sekolah, mereka juga membawa kebiasaan, budaya, cara pandang dan bahkan keyakinan keluarga ke sekolah. Nilai-nilai yang mereka dapatkan dari rumah, akan mereka tawarkan kepada teman-temannya di sekolah. Saling pengaruh akan terjadi. Pertanyaannya, kita-kira anak kita termasuk yang mudah terpengaruh ataukah yang paling banyak mempengaruhi temannya? Kira-kira, pengaruh baik ataukah buruk?
Pergaulan anak dengan temannya boleh jadi menguatkan atau sebaliknya melemahkan nilai-nilai yang kita tanamkan dari rumah maupun yang dibekalkan oleh guru di kelas. Kita dapat menyalahkan teman-temannya, bahkan orangtua mereka, manakala anak kita menjadi buruk setelah bergaul dengan teman-temannya. Tapi ada satu pertanyaan yang perlu kita jawab dengan pikiran jernih dan hati yang bersih, mengapa teman-temannya dapat meruntuhkan apa yang telah kita tanamkan? Apakah yang menyebabkan anak lebih mempercayai temannya? Dan apa pula yang menjadikan perkataan kita lebih dipegangi dengan penuh rasa hormat.
Secara sederhana, jika anak-anak memiliki kedekatan emosi yang kuat dengan kita dan melihat kita sebagai sosok yang jujur, maka anak akan lebih mendengar perkataan kita. Nasehat kita akan mereka perhatikan. Bahkan jika anak melihat orangtua sebagai sosok yang mengagumkan, mereka akan berusaha meniru dan menjadikan kita sebagai panutan. Pun demikian dengan guru, jika anak melihat guru sebagai figur yang layak dipercaya dan dihormati, pengaruh guru akan kuat. Karenanya, orangtua dan guru memiliki tugas untuk saling menguatkan kepercayaan anak terhadap keduanya. Orangtua menumbuhkan kepercayaan, penghormatan dan ikatan emosi anak terhadap guru. Sementara guru semenjak awal menanamkan kepercayaan, kecintaan dan keinginan untuk senantiasa berbuat kebajikan kepada kedua orangtua (birrul walidain).
Ada tiga kebutuhan psikis anak yang harus kita perhatikan. Jika kebutuhan ini tak terpenuhi, maka temannya akan lebih berpengaruh daripada orangtua maupun guru. Jika kebutuhan tersebut hanya terpenuhi di rumah, maka orangtua akan menjadi figur yang berpengaruh, tetapi anak masih cukup mengkhawatirkan di sekolah. Pengaruh orangtua akan melekat lebih kuat jika mampu membangun kedekatan emosi yang kuat sekaligus memenuhi tiga kebutuhan anak tersebut. Sebaliknya, jika anak tak memperoleh pemenuhan atas kebutuhannya di sekolah saja, maka guru akan berperan sangat penting dalam membentuk kepribadian anak. Mereka amat menentukan.
Kuatnya pengaruh orangtua dan guru bukan berarti anak tak dapat bergaul dengan temannya. Bukan. Tetapi anak lebih mampu menyaring sesuai nilai yang ia terima dari orangtua atau guru. Ia pun dapat menjadi sumber pengaruh bagi temannya.
Lalu apa tiga kebutuhan yang perlu kita perhatikan tersebut? Pertama, anak perlu menyadari dan meyakini bahwa ia memiliki kemampuan yang bermanfaat. Kedua, anak mampu menjalin hubungan yang nyaman dan bermartabat dengan orangtua dan/atau guru. Ketiga, anak memiliki kebutuhan untuk memiliki peran atau sumbangsih yang berharga, baik di rumah maupun di sekolah. Nah.

Wallahu a’lambish-shawab.

[..Baca Selengkapnya..]

Mencegah Sebelum Parah

Jangan remehkan yang tampaknya sepele. Bermula dari yang kecil, dapat berkembang menjadi besar dan menakutkan. Bermula dari permainan game elektronik yang ada di HP, jika dibiarkan, dapat menjadi kecanduan game online beserta segala dampak buruknya. Ada dampak terkait dengan jenis game yang dimainkan, ada yang terkait dengan kegiatan bermain game itu sendiri. Berawal dari game online, seseorang dapat menjadi obsesif, agresif, tertantang berjudi, atau penyakit mental lainnya.
Kecanduan sendiri bertingkat-tingkat, tetapi semuanya membawa madharat dan menyingkirkan maslahat. Pada tingkat paling ringan, anak (bahkan orang dewasa) akan banyak membuang waktu yang bermanfaat untuk memburu keasyikan dan menuruti fantasi. Pada tingkat yang lebih berat, banyak cerita yang dapat saya sampaikan betapa anak yang sangat cemerlang kecerdasannya pun bisa berubah 180 derajat. Pun seorang suami yang penuh tanggung-jawab dapat kehilangan perhatiannya. Ia hanya sibuk menuruti keasyikannya bermain game online, lupa anak lupa istri. Dalam keadaan seperti itu, jangan tanya ibadah sunnah kepadanya.
Saya perlu sampaikan ini karena belakangan kasus kecanduan game online semakin merebak dimana-mana. Tak sedikit yang justru menimpa keluarga orang-orang yang memiliki perhatian besar terhadap agama. Saya juga merasa amat perlu menulis ini agar kita tidak merasa tenang hanya karena yang mulai asyik bermain game itu anak yang sudah kuliah atau remaja putri. Kecanduan game dapat menimpa siapa saja, laki-laki maupun perempuan. Dalam sebuah kasus, seorang mahasiswi terbengkalai skripsinya karena kecanduan game.
Saya tidak berbicara secara rinci tentang berbagai kondisi kecanduan. Mudah-mudahan lain waktu saya dapat membahasnya. Saya hanya ingin menunjukkan sebagian keadaan. Pada tingkat yang cukup parah, kecanduan game dapat memicu sikap ofensif, yakni kecenderungan untuk menyerang orang lain. Lebih-lebih jika ia merasa terganggu, baik karena dinasehati atau karena ia merasa tidak nyaman saja dengan kegiatan orang lain, meskipun itu saudara kandungnya. Anaknya yang sebelumnya manis, lembut perangainya dan suka membantu, dapat sontak berubah menjadi kasar dan ringan lidah untuk membentak, meski terhadap ibunya.
Tentu saja tidak akan muncul sikap ofensif kecuali apabila selfish (hanya sibuk dengan dirinya sendiri, mirip egoisme) menguat. Membentak dan menyerang secara lisan merupakan bentuk perilaku ofensif yang masih relatif ringan. Yang lebih parah adalah tindakan fisik. Dan karena yang bersangkutan sedang kehilangan kendali bersebab pikiran dan emosinya dikuasai game, maka perilaku ofensif ini dapat ditujukan kepada siapa saja, termasuk orangtua. Padahal dalam kondisi normal, dia tidakakan melakukannya.
Jika tidak segera memperoleh penanganan, anak dapat memiliki kecenderungan destruktif (merusak, menghancurkan). Terlebih jika jenis game online yang ia sukai termasuk jenis ini, semisal perang. Jika perilaku ofensif ditujukan kepada siapa pun yang membuatnya merasa terganggu, meskipun orang itu sebenarnya tidak mengganggu dia, maka kecenderungan destruktif ini mendorong dia untuk merusak atau bahkan menghancurkan (milik) orang lain. Boleh jadi ia menujukan tindakan tersebut kepada orang yang tidak disukainya, atau ia rasa mengganggu. Boleh jadi ia berlaku destruktif kepada siapa pun disebabkan ia sudah dikendalikan oleh waham akibat game. Inilah yang disebut obsesif.
Yang sangat mengkhawatirkan adalah tingkatan kecanduan game online yang menyebabkan seseorang terputus secara mental dari lingkungan sosialnya. Ia bersikap asosial. Ia tak lagi dapat bergaul secara wajar dengan orang lain, kehilangan kepekaan, tak peduli orang lain terganggu oleh keadaan dirinya dan bahkan ia lupa diri sendiri. Ada orang yang mampu berhari-hari bermain game non stop di Warnet (tidak mandi dan tentu saja tidak shalat), tapi masih dapat berinteraksi dengan orang lain secara relatif wajar. Tetapi anak –bahkan orang dewasa— yang sudah sampai pada tingkat asosial, ia dapat berminggu-minggu tidak mandi karena tenggelam dalam game online maupun fantasi saat ia sedang tidak bermain game. Anak yang sudah mengalami gejala asosial bersebab kecanduan game, saat bersama orang lain pun tidak dapat berinteraksi secara wajar. Sebagian bahkan nyaris tak dapat berinteraksi sama sekali.
ni tentu saja sangat tidak kita kehendaki. Alangkah sia-sia mendidik mereka bertahun-tahun jika harus hancur oleh game online dalam waktu beberapa bulan saja. Tak ada artinya kecerdasan mereka yang cemerlang, prestasi mereka yang menakjubkan dan berbagai keunggulan lainnya jika harus musnah oleh permainan yang kita beli sendiri alatnya. Karena itu, justru sebagai bentuk kasih-sayang terhadap anak, kita harus mencegah mereka dari berdekat-dekat dengan game online yang dapat menjadikan mereka kecanduan.
Dari beberapa kasus yang saya temui, kecanduan game online yang sampai pada tingkat sangat parah, umumnya terjadi karena orangtua tidak sigap mencegah saat anak sudah mulai menunjukkan gejala bermasalah, serta tidak ada ketegasan orangtua dalam melarang. Tak ada konsistensi sikap. Mungkin orangtua marah, meledak-ledak sesaat, tetapi sesudah itu aturannya dapat ditawar oleh anak. Sementara ketika anak sudah benar-benar kecanduan, rasa kasihan orangtua terhadap anak kadang salah sasaran. Seharusnya rasa kasihan terhadap masa depannya dapat membuat ibu mengambil sikap tegas tanpa kompromi, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Ia memberi kesempatan lagi, lagi dan lagi karena tidak tega melihat anaknya menderita.
Sesungguhnya, cukuplah orangtua dianggap tega dan kejam apabila ia membiasakan anaknya hidup mudah serta membiarkan anak menikmati kesenangan yang merusak masa depannya.
Dalam kasus anak sudah benar-benar kecanduan, terlebih sampai tingkat destruktif atau asosial, salah satu fase yang dilalui dalam proses terapi oleh profesional maupun penghentian kecanduan oleh pihak keluar memang sakauw. Anak terlihat sangat menderita karena ia dijauhkan dari apa yang membuatnya asyik. Anak tampak sangat linglung, frustrasi, teriak-teriak atau menangsi sendiri merupakan hal yang wajar. Obatnya adalah didampingi atau dibiarkan dulu dengan pengawasan. Bukan diberi kesempatan untuk bermain game lagi. 
Fase sakauw ini bisa sebentar bisa lama, tergantung tingkat kecanduannya dan kondisi lingkungan saat anak menjadi pemulihan. Setelah fase sakauw berlalu, anak akan berusaha untuk menerima kenyataan berupa hidup tanpa game. Tapi pada fase ini anak masih rentan kambuh kecanduannya, sehingga tetap perlu dijauhkan dari perangkat yang dapat memancing ia untuk bermain game lagi, meski itu hanya berupa HP yang ada game-nya.
Saya tidak berpanjang-panjang tentang ini. Saya hanya ingin mengajak Anda semua, juga diri saya sendiri, untuk berhati-hati. Mencegah itu jauh lebih baik daripada mengobatinya sesudah parah.

[..Baca Selengkapnya..]

Membentuk Idealisme Pada Anak

Masa anak-anak adalah masa yang paling tepat untuk menanamkan suatu pemahaman. Bila anak-anak mendapat pemahaman yang benar sejak dini, maka pemahaman tersebut akan mengarahkan perilakunya pada masa yang akan datang. Sebaliknya jika sejak dini anak diberi pemahaman yang salah, maka hal itu juga berpengaruh pada pola pikir dan pola sikap yang akan terbentuk. Di sinilah tanggung jawab dan peran orangtua sangat dibutuhkan dalam proses penanaman pemahaman yang benar pada diri anak agar terbentuk idealisme Islam.

  Membentuk Idealisme Anak

Sebagai konsekuensi dari keyakinan pada akidah Islam, orangtua harus membentuk bangunan keluarganya atas dasar ketaatan kepada Allah SWT. Artinya, orangtua harus membangun pemahaman seluruh anggota keluarganya dalam rangka meraih keridhaan Allah SWT melalui pelaksanaan hukum-hukum syariah. Mengenalkan hukum-hukum Islam kepada anak adalah tugas pertama dan utama orangtua. Orangtualah yang akan memberikan pengaruh terhadap tumbuh dan berkembangnya pemahaman Islam yang utuh terhadap diri anak. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani dan Majusi (HR al-Bukhari). 
Satu hal yang penting dan mendasar untuk ditanamkan dalam kehidupan seorang Muslim sejak awal adalah penanaman akidah. Bahkan proses ini harus dimulai sejak anak berada dalam kandungan ibunya melalui lantunan ayat-ayat al-Quran serta doa yang terus dipanjatkan selama masa kehamilan. Selanjutnya, sejak dilahirkan ke dunia, anak harus dibimbing dan diarahkan agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Rabb-nya. Anak dibimbing untuk mengenal Penciptanya agar kelak ia hanya mengabdi kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Demikian pula dengan pengajaran perilaku dan budi pekerti anak yang didapatkan dari sikap keseharian orangtua ketika bergaul dengan mereka. Bagaimana ia diajari untuk memilih kalimat-kalimat yang baik, sikap sopan-santun, kasih-sayang terhadap saudara dan orang lain. Mereka diajari untuk memilih cara yang benar ketika memenuhi kebutuhan hidup dan memilih barang halal yang akan mereka gunakan. Kesimpulannya, potensi dasar untuk membentuk sosok yang idealis sebagai bagian dari pembentukan generasi berkualitas dipersiapkan oleh orangtua terutama oleh ibu. Ibu memiliki peran yang sangat vital dalam proses pendidikan anak sejak dini. Ibulah sosok yang pertama kali berinteraksi dengan anak, sosok pertama yang memberi rasa aman, dan sosok pertama yang dipercaya dan didengar omongannya. Karena itu, ibu menjadi sekolah pertama bagi anak anaknya untuk menjadi sosok yang memiliki idealisme. 
Mengarahkan Idealisme Anak 

Pribadi yang memiliki idealisme adalah pribadi tangguh, yang memiliki kepribadian Islam; berpikir islami dan berperilaku dengan standar hukum-hukum Allah SWT. Dengan itu ia mampu mengarungi hidup ini dengan benar dan membawa kemaslahatan. Beberapa hal yang harus ditanamkan orangtua khususnya ibu kepada anaknya dalam rangka membentuk idealisme pada anak di antaranya adalah: 
1. Memahamkan anak bahwa satu-satunya agama yang diridhai Allah dan akan membawa kebahagiaan di dunia dan di akhirat adalah Islam (Lihat: QS Ali Imran [3]: 19). Penanaman pemahaman ini sangat penting agar sejak dini anak hanya menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama yang harus diyakini dan diperjuangkan. Dengan begitu anak tidak akan ragu sedikit pun akan kebenaran agama yang dianutnya. Orangtua yang memiliki idealisme tentu tidak akan membiarkan anaknya mencari hakikat kehidupan seorang diri. Ia akan mengarahkan anaknya agar memahami hakikat kehidupan ini sesuai dengan tujuan penciptaan manusia, yakni hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Orangtua juga tidak akan membiarkan anaknya memiliki pemahaman bahwa semua agama itu benar hanya karena sama-sama mengajarkan penyembahan Tuhan meski berbeda caranya. Pendapat seperti ini akan menjadi racun bagi anak dan tidak akan mengokohkan akidah yang kuat pada diri anak, selain bertentangan dengan pemahaman QS Ali Imran ayat 19 di atas. 
2. Menanamkan pada anak bahwa konsekuensi mengimani al-Quran adalah membenarkan semua isinya yang mengandung petunjuk dari Allah SWT untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia di dunia dan akhirat. Ditanamkan pula kesadaran bahwa bukti mengakui Nabi Muhammad saw. sebagai rasul adalah percaya kepada hadis-hadis beliau. Orangtua bisa mencari contoh syariah yang mudah dicerna oleh mereka, seperti perintah untuk berbakti kepada orangtua, berinfak kepada fakir miskin, larangan mengadu domba sesama Muslim, menipu, dll. Jelaskanlah bahwa di dalam perintah Allah SWT ada yang bersifat wajib atau sunnah, serta dalam larangan Allah SWT ada yang bersifat haram atau makruh berikut konsekuensinya. Tujuannya agar anak memiliki gambaran tentang syariah Islam dan merasa terikat dengannya. 
 3. Memahamkan hakikat baik dan buruk, serta terpuji dan tercela; bahwa kebaikan adalah apa saja yang Allah ridhai, sedangkan keburukan adalah apa saja yang Allah murkai. Yang terpuji adalah apa saja yang dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya, sedangkan yang tercela adalah apa saja dicela oleh Allah dan Rasul-Nya. Anak-anak harus selalu dipahamkan bahwa baik-buruk sesuatu itu harus sesuai dengan aturan Allah SWT, dan terpuji tercela sesuatu haruslah apa yang dipuji dan dicela oleh Allah SWT. Perlu disampaikan kepada anak, bahwa sungguh Allah itu Maha Penyayang atas makhluk-Nya, kita tidak perlu bersusah-payah menentukan baik dan buruk sesuatu karena telah ditetapkan oleh Dia. Allah menetapkan, manusia yang berbuat menurut akal pikiran dan hawa nafsunya serta tidak mengikuti aturan-Nya adalah kufur dan ingkar, dan kita harus menjauhi sikap demikian. Dengan pemahaman seperti ini, anak akan terbiasa mengukur dan menimbang setiap perilaku dan pilihan hidupnya sesuai dengan aturan Allah SWT, bukan dengan pertimbangan perasaan apalagi mengikuti perkembangan zaman sekarang yang sudah tidak karuan ini. 
4. Dengan sering melatih proses berpikir Islamnya, pemikiran anak akan semakin meluas. Kemudian seiring perkembangan usianya, orangtua juga bisa mengarahkan pemahaman anak tentang persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat saat ini, yaitu tidak adanya penerapan syariah Islam di tengah kehidupan. Selanjutnya orangtua mendorong anak untuk terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar dan bersama-sama berjuang demi tegaknya syariah Islam yang akan menyelesaikan semua persoalan yang ada di masyarakat. 
Idealisme Islam versus Intoleransi? 
Saat orangtua berhasil mencetak anak-anaknya menjadi sosok yang idealis, yang selalu terikat dengan hukum-hukum Allah SWT, berarti orangtua telah berhasil mendidik anaknya sesuai dengan arahan Islam. Betapa bahagianya orangtua yang sukses mengantarkan anaknya menjadi sosok idealis, pejuang Islam yang salih dan konsisten membela kebenaran. Bahkan kebahagiaan orangtua tersebut akan terus mengalir walaupun Allah telah memanggilnya. Keberhasilan membentuk idealisme Islam pada diri anak haruslah menjadi cita-cita bagi setiap orangtua. Untuk itu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh pada setiap keluarga Muslim untuk senantiasa mewarnai kehidupan keluarganya dengan warna Islam yang jelas. Dengan begitu, karakter anak yang terbentuk adalah karakter Islam yang jelas, tidak abu-abu, apalagi warna-warni. Sikap orangtua yang seperti ini bukan berarti orangtua mengajarkan anak untuk tidak memiliki sikap toleransi terhadap agama lain atau bahkan dianggap menanamkan kebencian dan kekerasan pada anak. Tuduhan seperti ini tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Para orangtua Muslim tidak boleh terjebak dengan tuduhan dari kalangan yang antara lain dilontarkan kalangan liberal ini. Orangtua harus tetap istiqamah mengarahkan pendidikan dan pembinaan anak-anaknya agar memiliki idealisme Islam sehingga terbentuk generasi Islam yang berkualitas pada masa yang akan datang. WalLahu a’lam bi ash-shawab.

[..Baca Selengkapnya..]

Jumat, 23 Juli 2010

Metro ROADM


Salah satu Posting Artikel disini pernah dijelaskan Metro Ethernet, kali ini akan saya perkenalkan salah satu teknologi yg banyak berhubungan dg Metro Ethernet. Namanya ROADM. Apa itu...? Silahkan simak...

Teknologi Reconfigurabel Optical Add Drop Multiplexer (ROADM) merupakan pengembangan dari teknologi optik Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDM). Perbedaan utama antara ROADM dengan DWDM terletak pada degree atau bahasa awamnya tangan/ cabang dari perangkat OADM yang ada di masing-masing.

Prinsip kerja dasar dari xWDM (DWDM dan Coarse WDM/CWDM) adalah mentransmisikan kombinasi sejumlah panjang gelombang yang berbeda dengan menggunakan perangkat multiplex panjang gelombang optik dalam satu fiber. Pada sisi penerima terjadi proses kebalikannya dimana panjang gelombang tersebut dikembalikan ke sinyal asalnya.

Perangkat OADM berfungsi melakukan add/drop sinyal dalam sistem. Konfigurasi ring, seperti juga pada jaringan SDH, dimaksudkan untuk mengimplementasikan sistem proteksi. Prinsip dasar OADM (dengan topologi ring) adalah:
  • Melakukan multiplexing panjang gelombang.
  • Memiliki kemampuan menurunkan panjang gelombang l (:baca: lamda) di suatu titik, di mana OADM ditempatkan.
  • Memiliki kemampuan add/drop panjang gelombang l (:baca: lamda) di titik OADM.
  • Memiliki sistem cross connect pada satuan l (:baca: lamda).

Utk teknologi ROADM maka degree/ cabang perangkat OADM-nya dapat lebih dari 2 bahkan sekarang ada perangkat ROADM yg sudah memiliki 8 degree/cabang, sedangkan OADM pada DWDM biasanya memiliki 2 - 3 degree/ cabang. Untuk apa sih perlunya banyak degree tersebut, degree tersebut diperlukan jika kita ingin menghubungkan antar node yang berada pada jaringan mesh/ jala sehingga node yang memiliki banyak degree/cabang akan dapat mengakomodasi koneksi ke 8 link/ saluran yang terhubung ke 8 node lainnya. Masih banyak lain yang menjadi titik berbedanya perangkat ROADM dibandingkan dengan perangkat DWDM yang sudah dikenal dewasa ini, termasuk kemampuan mengenal panjang gelombang (lambda) yang asing dari yang dimilikinya, kemampuan mentransmisikan panjang gelombang, software manajemen utk provisioning panjang gelombang dan jaringan, dll.

Biasanya Ada beberapa pertimbangan umum yg dipakai sebelum menentukan platform/vendor pabrikan yang berhubungan dengan kapasitas, fungsi, operasi, spesifikasi fisik, transmisi.
    Physical Specs and Protection
  • Footprint
  • Power Consumption
  • Interface Slots per Shelf
  • Sparing Options
  • Network Protection
  • Equipment Protection
    Transmission Characteristics
  • Spectrum and Channel Plan
  • Number of Wavelengths
  • Transmission Distance
  • Maximum Node Suppor
  • Fiber Types Supported
  • Alien Wavelength Support
    Service Functionality
  • STM/OC-N Support
  • Ethernet Support
  • Protocol Support
  • VCAT, GFP, LCAS Support
  • ROADM Technology
  • ROADM Implementation
    Capacity and Density
  • System Capacity
  • Common Equipment Footprint
  • STM/OC-N Port Density
  • Ethernet Port Density
  • SAN Port Density
  • Sub-rate Muxing
    Operations
  • Control Plane
  • Network Management
  • OSS/BSS Interfaces
  • Performance Monitoring
  • Power Balancing Technology
    Physical Attributes
  • Dimensions (English and Metric)
  • Environmental Certifications
  • Power Input Requirements
  • Power Consumption
  • Shelves/Rack
    Function and Role in Solution
  • Platform and Solution
  • Equivalent Network Functionality
  • Architecture
    Topology and Distance
  • Topologies Supported
  • Single Span Distance
  • Ring Circumference
  • Maximum Nodes
    Capacity
  • Wavelengths/Fiber Pair
  • Wavelengths/Shelf, Wavelengths/System
  • Line Rates Supported
  • System Capacity
  • No. Chassis for Max. Configuration
  • Interface Slots per Shelf
    Spectrum
  • Spectrum Bands Used
  • Channel Spacing Grid
    Fiber Requirements
  • Supported Fiber Types
    Optics
  • Client Optics
  • Line Optics
  • Tunability
    Client Interfaces
  • Multirate SONET/SDH Client Side Interface Cards
  • Subrate Multiplexing Client Side Interface Cards
  • ADM Multiplexing Transponders
  • Gigabit Ethernet Multiplexing Transponders
  • OC-192 Ports/Chassis
  • OC-48 Ports/Chassis
  • OC-12 Ports/Chassis
  • OC-3 Ports/Chassis
  • 10 GbE Ports/Chassis
  • GbE Ports/Chassis
  • DS3 Ports/Chassis
  • ESCON/FICON/Fibre Channel Ports/Chassis
    Management
  • Control Plane Support
  • Optical Supervisory Channel
  • Element/Network Management System
  • Network Modeling Tools
  • OSMINE Certifications
  • OSS Interfaces
  • Performance Monitoring
    Features
  • ROADM, ADM Capabilities
  • Wavelength Blocker/Selective Switch
  • Cross Connect Functionality
  • Ring Support
  • Optical Channel Monitor
  • Dynamic Power Equalization
  • Hot-swappable Modules
  • Integrated Optics
  • Card Sharing
  • Scalability
  • Software Release
    Technologies
  • Amplification
  • Forward Error Correction
  • Dispersion Compensation
  • Digital Wrapper
  • GFP Support
  • LCAS Support
  • VCAT Support
  • Tributary Protection
  • Per Wavelength Protection
  • Line Protection
  • Single Fiber Working Capabilites
  • Transient Control

Masih penasaran....?
Tunggu di postingan berikutnya....:)


[..Baca Selengkapnya..]