Pola Belajar di rumah
Pola sistematik di sekolah, seringkali “bubar” ketika di rumah karena toleransi orang tua/pengasuh yang berlebihan terhadap anak (tidak tahan terhadap rengekan dan tantrum anak).
Pola short-cut, sering dilakukan orang tua, dengan memangkas proses yang seharusnya dilalui anak, karena orang tua sendiri yang tidak tahan menghadapi proses tersebut, yang di”bumbui” oleh rengekan anak.
Suasana belajar di Sekolah
Suasana belajar yang ceria, non-judgmental, non-ambisius (tidak dipengaruhi ambisi pribadi sang pengajar), namun ada nuansa kompetisi (antar teman) akan membuat anak “betah” dan “asik” menjalani proses belajar-nya di sekolah
Suasana belajar di Rumah
Suasana di rumah yang “fun”, santai, longgar, no target, no clear “rules – regulations & boundaries/batasan”, apalagi tidak ada competitor, tidak menggiring dan membentuk suasana belajar. Yang muncul, adalah suasana “murni bermain” dan bersantai, melakukan kegiatan yang tak terarah dan tak bermakna
Stimulus belajar di Sekolah
Stimulus diberikan secara sistematik, terencana, terpola (tidak random dan simultan – all in one), memperkaya wawasan, skill / ketrampilan anak. Pemberian stimulus yang minimal (tidak sesuai dengan kapasitas anak) menyebabkan kebosanan dan keresahan. Stimulus yang berlebihan, membuat anak resah dan inferior karena merasa “sulit” menghadapi stimulus tersebut.
Stimulus belajar di Rumah
Di rumah, anak mudah sekali kebanjiran ‘stimulus” entah dalam bentuk permainan (meskipun sifatnya edukatif) maupun pelajaran. Artinya, anak diberikan banyak mainan atau pun pelajaran untuk dikerjakan dalam waktu yang sama. Pola ini, membuat anak sulit menyusun skala prioritas konsentrasi, pengolahan & penyaluran energi. Akhirnya, anak mudah beralih perhatian saat masa belajarnya di satu hal belum selesai (saat ia belum mendapatkan kesimpulan dan pemahaman atas pola yang ditemukan dari permainan / kegiatannya itu).
Pemberian pelajaran yang berlebihan di rumah tanpa mempertimbangkan kemampuan anak (missal karena ambisi orang tua), dapat mengundang penolakan anak atau rasa rendah diri (merasa tak mampu)
2. Problem motivasi
Problem Motivasi Belajar di sekolah
Pola action-consequence dan sequence yang jelas (sesudah pelajaran ini, akan dilanjutkan dengan kegiatan “mengasikkan” berikutnya – jadi kalau sampai tidak selesai, nanti tidak bisa ikut belajar yang selanjutnya), membuat anak belajar untuk memahami apa akibatnya kalau dia tidak mengerjakan seperti seharusnya.
Problem Motivasi Belajar di rumah
Pola action – consequence seringkali tidak konsisten yang bersumber dari ketidakmampuan orang tua bersikap konsisten pada anak dan toleransi yang terlalu longgar dalam menerapkan pola action-consequences maupun sequences serta kemandirian dalam bertindak (tidak tergantung orang lain – autonomous & independent).
Akibatnya, anak jadi mudah frustrasi, kurang punya daya juang (gampang menyerah), malas, mengikuti impuls-nya semata.
Rasa ingin tahu, kebutuhan eksplorasi dan keinginan anak untuk mencoba mudah “kalah” oleh keengganan, rasa malas atau pun tuntutan untuk dibantu orang tua.
3. Problem perilaku
Problem Perilaku Belajar di sekolah
Pola belajar yang komprehensif, kombinasi dari kegiatan fisik (heavy physical activity) dan non fisik (contoh : thinking, reading, scrabbling, drawing, singing, interacting) membuat energy anak (pada umumnya) terolah dan tersalur secara produktif & efektif dalam rentang waktu yang relative proporsional
Problem Perilaku Belajar di sekolah
Energi anak yang berlebihan, kurang tersalur secara terarah. Banyak waktu, tapi untuk bermain yang non-produktif; banyak mainan, namun kurang diberi makna / arahan, sehingga mainan yang ada pun tidak bermanfaat secara optimal untuk perkembangan anak, dan hanya sekedar “for fun”. Akibatnya, anak mudah bosan, tidak menghargai mainan, tidak kreatif (pemain pasif dan penerima “mainan” pasif), tidak inovatif. Energi yang tidak tersalur, berputar di dalam, menimbulkan keresahan yang seringkali tidak dapat dikendalikan oleh sang anak, hingga terkesan “hyperaktif”, agresif, sulit konsentrasi, tidak bisa diam, dsb
4. Problem emosional
Problem emosional Belajar di sekolah
Beragamnya aktivitas dan teman-teman bermain, membuat anak belajar mengelola emosi-nya sendiri berikut kebutuhan dan keinginan mereka (untuk diperhatikan, dinomersatukan, dilayani, dibantu, dsb – yang bersifat egosentris / terpusat pada diri sendiri). Kompleksitas situasi di sekolah, menghadapkan anak pada situasi yang sering tak dapat dikendalikannya. Di sekolah, mau tidak mau anak belajar mengelola frustrasi, kesedihan, perasaan marah, ketakutannya, iri hati, kebosanannya, atau pun kekesalannya terhadap sesuatu. Kompleksitas situasi di sekolah, pada dasarnya membantu proses perkembangan kematangan emosi anak.
Problem emosional Belajar di rumah
Jika orang tua heran, melihat anaknya disekolah yang lebih “dewasa” tapi ketika di rumah jadi “manja”, tukang merengek, mudah menangis dan tantrum, bisa diteliti kembali, bagaimana pola-pola di rumah. Sikap orang tua yang sangat toleran dan tidak konsisten, tidak ber-prinsip (tidak didasari prinsip logika rasional dalam menerapkan aturan) dalam menyikapi tantrum anak atau pun emosi anak, pada akhirnya menyulitkan proses “pencerdasan emosional” anak.
Orang tua, seringkali salah memfokuskan perhatian, bukan pada tujuan akhir dari kebijakan, kebiasaan, aktivitas, pembelajaran –nya, namun lebih pada tantrum dan reaksi emosi anak. Contoh : mudah luluh / kesal / marah mendengar anak merengek tidak mau makan sendiri sehingga supaya tidak merengek dan mau makan banyak, akhirnya “disuapi” lagi – akhirnya, tujuan pendidikan tidak tercapai, dan anak tidak se-mandiri ketika di sekolah
5. Problem sosial
Problem Sosial Belajar di sekolah
Banyaknya teman di sekolah, membuat anak belajar perilaku sosial, seperti halnya berbagi (sharing), toleransi, bergiliran, empati, menolong teman, dsb. Banyaknya jumlah anak di dalam kelas, membuat sang anak belajar menghadapi kenyataan bahwa bukan dia satu-satunya anak yang membutuhkan bantuan ibu guru atau diperhatikan oleh pak guru. Pola ini, secara positif dapat menumbuhkan kemandirian anak (tidak tergantung dari orang lain, tapi mampu mengusahakannya sendiri).
Anak juga belajar, aksi-reaksi, dari sikap dan tindakannya sendiri. Lama kelamaan, anak akan berpikir sebelum bertindak, sehingga dia tidak lagi terlalu impulsif dan “mau menang sendiri” sebab ada akibat sosial yang akan dia alami.
Problem Sosial Belajar di sekolah
Ketika di rumah, anak cenderung menjadi “prince – princess”, di mana semua kebutuhannya dilayani dan dia menjadi pusat perhatian. Akhirnya, jika di sekolah anak terlihat mandiri, tapi di rumah jadi anak super manja. Ketidaksinkronan dan ketidakkonsistenan antara pola di rumah dengan di sekolah, akan menghambat berkembangnya kesadaran internal akan tanggung jawab sosial (social responsibility).
6. Problem nilai
Problem Nilai Belajar di sekolah
Di sekolah, anak mendapatkan pelajaran nilai secara langsung dari pengalaman mereka sehari-hari, misalnya : kejujuran, toleransi, kedisiplinan, kemandirian, ketekunan, ketaatan, kepatuhan, kerja sama, “kerja keras” dan “usaha”, tanggung jawab, menghargai teman, mengucapkan terima kasih, dsb. Lingkungan sekolah yang sangat natural (memunculkan instant reaction), memudahkan anak untuk belajar nilai secara konsisten di lingkungan sekolah.
Problem Nilai Belajar di rumah
Para orang tua maupun pengasuh, seringkali sulit menanamkan nilai-nilai seperti halnya di sekolah, karena banyaknya benturan nilai. Misalnya : jika di sekolah anak harus bisa makan sendiri, di rumah disuapi. Jika di sekolah membereskan mainan (tanggung jawab) sendiri, di rumah dibereskan mbak. Jika di sekolah disiplin dalam hal waktu, di rumah boleh nonton sepuasnya.. Jika disekolah mengerjakan sesuatu hingga selesai, kalau di rumah bisa suka-suka sendiri. Jika di sekolah harus mengambil mainan sendiri, kalau di rumah, tinggal teriak dan menjerit maka akan ada yang mengambilkan. Akhirnya hal ini menghambat pembentukan nilai dan kesadaran moral pada anak. Anak akan “suka-suka” dan terbiasa bersikap “short cut”, ambil jalan pintas – yang enak, yang mudah, tidak mau melalui proses-nya, tidak mau menerima konsekuensinya. Pola ini, memupuk mentalitas anak yang lembek, mudah frustrasi, manipulatif dan narsisistik (merasa diri hebat dan layak untuk memperoleh apa yang dia inginkan). Selain itu, anak jadi taat, patuh, “baik” karena takut dimarahi – bukan karena kesadaran (yang akan terbangun melalui belajar nilai dari action-consequnces secara logis)
Apa yang harus dilakukan?
Orang tua perlu mencari benang merah dan sinkronisasi beberapa hal yang utama, yang membantu anak mengembangkan hal-hal dasar dalam kepribadiannya. Sebagaimana orang tua memilih sekolah yang sesuai dengan orientasi nilai dan harapan mereka, begitu juga orang tua seyogyanya mengadaptasikan pola-pola pendidikan yang konstruktif dan positif dari sekolah. Paling tidak, di antara keduanya, saling mengisi – dan bukan saling meniadakan. Untuk itu lah, komunikasi orang tua dengan anak, dan komunikasi antara orang tua dengan pihak sekolah, menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Kita tidak bisa bersikap “tahu beres” baik terhadap anak maupunn pihak sekolah. Karena, ketika terjadi ketidakberesan, kita tidak bisa semata-mata menunjuk pihak sekolah sebagai “biang keladi” dari persoalan yang dihadapi anak. Bisa saja persoalan dimulai / terjadi di sekolah, namun kita harus melihatnya secara bijaksana, karena reaksi seorang anak terhadap sesuatu, sangat dipengaruhi oleh proses belajar yang dilaluinya dan pola asuh yang paling mendominasi bentukan sikap dan kepribadiannya.
Jadi, keluarga, adalah tempat utama pendidikan dan pengembangan seorang anak. Sekolah, pada dasarnya mengarahkan, memberikan bimbingan dan kerangka – bagi anak untuk belajar, bertumbuh dan berkembang. Sementara keluarga, justru menjadi center of education yang utama, pertama dan mendasar.
[..Baca Selengkapnya..]