Anak usia sekolah tentunya perlu untuk belajar, entah mengulang kembali pelajaran yang sudah diberikan di sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah (pr) ataupun mempelajari hal-hal lain di luar pelajaran sekolah. Pentingnya belajar tanpa harus dibicarakan panjang lebar pasti sudah disadari oleh seluruh orangtua.
Keluhan yang datang dari orangtua pada umunya lebih banyak menyangkut anaknya terlalu banyak bermain daripada orangtua yang anaknya terlalu banyak belajar. Bahkan kalau anak sangat rajin belajar, pastilah orangtua memamerkannya ke orang-orang dengan nada bangga, "Iya loh Pak Dani, anak saya itu belajarnya rajin sekali. Pulang sekolah belajar, bangun tidur siang belajar, terus malam kalau bapaknya sudah pulang ya belajar lagi. Makanya anak saya itu pintar sekali, apa-apa tahu. Kadang-kadang malah saya yang nggak tahu".
Lain lagi kalimatnya jika anak terlalu banyak bermain, "Aduuuuuuh Pak Dani, anak saya ini kerjanya main melulu.... Siang main, sore main, malam juga main. Saya dan bapaknya kalau mau menyuruh dia belajar, harus teriak-teriak dulu, mengancam dulu, baru dia mau belajar. Pusing saya jadinya. Sudah begitu perkalian saja tidak hafal".
Penyebab
Kalau anak enggan belajar, tentunya perlu dicari tahu sebab-musababnya, baru kemudian diambil suatu tindakan. Beberapa sebab mengapa anak enggan belajar, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya waktu yang tersedia untuk bermain (sudah dibahas pada artikel yang lalu).
2. Sedang punya masalah di rumah (misalnya suasana di rumah sedang "kacau" karena ada adik baru).
3. Bermasalah di sekolah (tidak suka/phobia sekolah, sehingga apapun yang berhubungan dengan sekolah jadi enggan untuk dikerjakan).
4. Sedang sakit.
5. Sedang sedih (bertengkar dengan teman baik, kehilangan anjing kesayangan)
6. Tidak ada masalah atau sakit apapun, juga tidak kurang waktu bermain (malahan kebanyakan), hanya memang MALAS.
Malas
Dalam Kamus Bahasa Indonesia oleh Muhammad Ali, malas dijabarkan sebagai tidak mau berbuat sesuatu, segan, tak suka, tak bernafsu. Malas belajar berarti tidak mau, enggan, tak suka, tak bernafsu untuk belajar.
Kalau anak-anak tidak suka belajar dan lebih suka bermain, itu berarti belajar dianggap sebagai kegiatan yang tidak menarik buat mereka, dan mungkin tanpa mereka sadari juga dianggap sebagai kegiatan yang tidak ada gunanya/untungnya karena bagi ana-anak tidak secara langsung dapat menikmati hasil belajar. Berbeda dengan kegiatan bermain, jelas-jelas kegiatan bermain menarik buat anak-anak, dan keuntungannya dapat mereka rasakan secara langsung (perasaan senang yang dialami ketika bermain adalah suatu keuntungan).
Motivasi
Dalam dunia psikologi, dorongan yang dirasakan seseorang untuk melakukan sesuatu disebut sebagai motivasi. Motivasi tersebut dapat berasal dari dalam maupun dari luar diri seseorang.
Morgan (1986) dalam bukunya Introduction To Psychology, menjelaskan beberapa teori motivasi:
1. Teori insentif
Dalam teori insentif, seseorang berperilaku tertentu untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu ini disebut sebagai insentif dan adanya di luar diri orang tersebut. Contoh insentif yang paling umum dan paling dikenal oleh anak-anak misalnya jika anak naik kelas akan dibelikan sepeda baru oleh orangtua, maka anak belajar dengan tekun untuk mendapatkan sepeda baru. Insentif biasanya hal-hal yang menarik dan menyenangkan, sehingga anak tertarik mendapatkannya. Insentif, bisa juga sesuatu yang tidak menyenangkan, maka orang berperilaku tertentu untuk menghindar mendapatkan insentif yang tidak menyenangkan ini. Dapat juga terjadi sekaligus, orang berperilaku tertentu untuk mendapatkan insentif menyenangkan, dan menghindar dari insentif tidak menyenangkan.
2. Pandangan hedonistik
Dalam pandangan hedonistik, seseorang didorong untuk berperilaku tertentu yang akan memberinya perasaan senang dan menghindari perasaan tidak menyenangkan. Contohnya: anak mau belajar karena ia tidak ingin ditinggal ibunya ke pasar/supermarket.
Dari uraian di atas, dapat diasumsikan anak yang malas tidak merasa adanya insentif yang menarik bagi dirinya dan ia pun tidak merasakan perasaan menyenangkan dari belajar.
Memberikan Dorongan Agar Anak Mau Belajar
Sehubungan dengan teori motivasi di atas tentunya bisa dikatakan dengan mudah, ayo kita berikan dorongan agar anak mau belajar. Tapi dorongan seperti apa yang dapat diberikan kepada anak?
Berikut ini adalah beberapa buah saran:
1. Berikan insentif jika anak belajar. Insentif yang dapat diberikan ke anak tidak selalu harus berupa materi, tapi bisa juga berupa penghargaan dan perhatian. Pujilah anak saat ia mau belajar tanpa mesti disuruh (peristiwa ini mungkin jarang terjadi, tapi jika saat terjadi orangtua memperhatikan dan menunjukkannya, hal tersebut bisa menjadi insentif yang berharga buat anak). Pujian selain merupakan insentif langsung, juga menunjukkan penghargaan dan perhatian dari orangtua terhadap anak. Anak seringkali haus perhatian dan senang dipuji. Jadi daripada memberikan perhatian ketika anak tidak mau belajar dengan cara marah-marah, dan ketika belajar tanpa disuruh orangtua tidak memberikan komentar apapun, atau hanya komentar singkat tanpa kehangatan, akan lebih efektif perhatian orangtua diarahkan pada perilaku-perilaku yang baik.
2. Terangkan dengan bahasa yang dimengerti anak, bahwa belajar itu berguna buat anak. Bukan sekedar supaya raport tidak merah, tapi misalnya dengan mengatakan "Kalau Ade rajin belajar dan jadi pintar, nanti kalau ikut kuis di tv bisa menang loh, dapat banyak hadiah. Kan kalau anak pintar, bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya".
3. Sering mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang diajarkan di sekolah pada anak (bukan dalam keadaan mengetes anak, tapi misalnya sembari mengisi tts atau ikut menjawab kuis di tv). Jika anak bisa menjawab, puji dia dengan menyebut kepintarannya sebagai hasil belajar. Kalau anak tidak bisa, tunjukkan rasa kecewa dan mengatakan "Yah Ade nggak bisa jawab, nggak bisa bantu Mama deh. Ade, di buku pelajarannya ada nggak sih jawabannya? Kita lihat yuk sama-sama". Dengan cara ini, anak sekaligus akan merasa dipercaya dan dihargai oleh orangtua, karena orangtua mau meminta bantuannya.
4. Banyak lembaga pra-sekolah yang mengajarkan kepada anak pelajaran-pelajaran dengan metode active learning atau learning by doing, atau learning through playing, salah satu tujuannya adalah agar anak mengasosiasikan belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan. Tapi seringkali untuk anak-anak SD, hal ini agak sulit dipraktekkan, karena mulai banyak pelajaran yang harus dipelajari dengan menghafal. Untuk keadaan ini, hal minimal yang dapat dilakukan adalah mensetting suasana belajar. Jika setiap kali pembicaraan mengenai belajar berakhir dengan omelan-omelan, ia akan mengasosiasikan suasana belajar sebagai hal yang tidak memberi perasaan menyenangkan, dengan demikian akan dihindari.
Membuat Suasana Belajar Lebih Menyenangkan
Selain tidak sering-sering memarahi anak ketika belajar, ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan agar suasana belajar lebih menyenangkan dan anak mau belajar. Hal-hal tersebut adalah:
1. Anak cenderung meniru perilaku orangtua, karena itu jadilah contoh buat anak. Ketika menyuruh dan mengawasi anak belajar, orangtua juga perlu untuk terlihat belajar (misalnya membaca buku-buku). Sesekali ayah-ibu perlu berdiskusi satu sama lain, mengenai topik-topik serius (suasana seperti anak sedang kerja kelompok dan diskusi dengan teman-teman, jadi anak melihat kalau orangtuanya juga belajar). Dengan demikian, anak melihat bahwa orangtuanya sampai tua pun tetap belajar.
2. Pilih waktu belajar terbaik untuk anak, ketika anak merasa segar. Mungkin sehabis mandi sore. Anak juga bisa diajak bersama-sama menentukan kapan waktu belajarnya.
3. Anak butuh suatu kepastian, hal-hal yang dapat diprediksi. Jadi jadikan belajar sebagai rutinitas yang pasti. Misalnya ketika sudah ditentukan, waktu belajar adalah 2 jam setiap hari, pukul 17.00-19.00, maka pada jam tersebut harus digunakan secara konsisten sebagai waktu belajar. Kecuali disebabkan hal-hal yang mendesak, misalnya anak baru sampai rumah pukul 16.30, tentunya tidak bijaksana memaksa anak harus belajar pukul 17.00, karena masih lelah.
4. Anak punya daya konsentrasi dan rentang perhatian yang berbeda-beda. Misalnya ada anak yang bisa belajar terus-menerus selama 1 jam, ada yang hanya bisa selama setengah jam. Kenali pola ini dan susunlah suatu jadwal belajar yang sesuai. Bagi anak yang hanya mampu berkonsentrasi selama 30 menit, maka berikan waktu istirahat 5-10 menit setelah ia belajar selama 30 menit. Demikian untuk anak yang mampu belajar lebih lama.
5. Dalam artikel di Tabloid Nova edisi Maret 2002, disarankan agar orangtua menemani anak ketika belajar. Dalam hal ini orangtua tidak perlu harus terus-menerus berada di samping anak karena mungkin Anda sebagai orangtua memiliki pekerjaan. Namun paling tidak ketika anak mengalami kesulitan, Anda ada di dekatnya untuk membantu. Demikian hal-hal yang dapat disarankan untuk membantu orangtua memberikan motivasi anak agar mau belajar. Semoga berguna dan dapat berhasil diterapkan. Orangtua senang, tidak lelah berteriak-teriak dan marah-marah, anak pun senang tidak dimarahi dan merasa menyukai kegiatan belajar.
Keluhan yang datang dari orangtua pada umunya lebih banyak menyangkut anaknya terlalu banyak bermain daripada orangtua yang anaknya terlalu banyak belajar. Bahkan kalau anak sangat rajin belajar, pastilah orangtua memamerkannya ke orang-orang dengan nada bangga, "Iya loh Pak Dani, anak saya itu belajarnya rajin sekali. Pulang sekolah belajar, bangun tidur siang belajar, terus malam kalau bapaknya sudah pulang ya belajar lagi. Makanya anak saya itu pintar sekali, apa-apa tahu. Kadang-kadang malah saya yang nggak tahu".
Lain lagi kalimatnya jika anak terlalu banyak bermain, "Aduuuuuuh Pak Dani, anak saya ini kerjanya main melulu.... Siang main, sore main, malam juga main. Saya dan bapaknya kalau mau menyuruh dia belajar, harus teriak-teriak dulu, mengancam dulu, baru dia mau belajar. Pusing saya jadinya. Sudah begitu perkalian saja tidak hafal".
Penyebab
Kalau anak enggan belajar, tentunya perlu dicari tahu sebab-musababnya, baru kemudian diambil suatu tindakan. Beberapa sebab mengapa anak enggan belajar, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya waktu yang tersedia untuk bermain (sudah dibahas pada artikel yang lalu).
2. Sedang punya masalah di rumah (misalnya suasana di rumah sedang "kacau" karena ada adik baru).
3. Bermasalah di sekolah (tidak suka/phobia sekolah, sehingga apapun yang berhubungan dengan sekolah jadi enggan untuk dikerjakan).
4. Sedang sakit.
5. Sedang sedih (bertengkar dengan teman baik, kehilangan anjing kesayangan)
6. Tidak ada masalah atau sakit apapun, juga tidak kurang waktu bermain (malahan kebanyakan), hanya memang MALAS.
Malas
Dalam Kamus Bahasa Indonesia oleh Muhammad Ali, malas dijabarkan sebagai tidak mau berbuat sesuatu, segan, tak suka, tak bernafsu. Malas belajar berarti tidak mau, enggan, tak suka, tak bernafsu untuk belajar.
Kalau anak-anak tidak suka belajar dan lebih suka bermain, itu berarti belajar dianggap sebagai kegiatan yang tidak menarik buat mereka, dan mungkin tanpa mereka sadari juga dianggap sebagai kegiatan yang tidak ada gunanya/untungnya karena bagi ana-anak tidak secara langsung dapat menikmati hasil belajar. Berbeda dengan kegiatan bermain, jelas-jelas kegiatan bermain menarik buat anak-anak, dan keuntungannya dapat mereka rasakan secara langsung (perasaan senang yang dialami ketika bermain adalah suatu keuntungan).
Motivasi
Dalam dunia psikologi, dorongan yang dirasakan seseorang untuk melakukan sesuatu disebut sebagai motivasi. Motivasi tersebut dapat berasal dari dalam maupun dari luar diri seseorang.
Morgan (1986) dalam bukunya Introduction To Psychology, menjelaskan beberapa teori motivasi:
1. Teori insentif
Dalam teori insentif, seseorang berperilaku tertentu untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu ini disebut sebagai insentif dan adanya di luar diri orang tersebut. Contoh insentif yang paling umum dan paling dikenal oleh anak-anak misalnya jika anak naik kelas akan dibelikan sepeda baru oleh orangtua, maka anak belajar dengan tekun untuk mendapatkan sepeda baru. Insentif biasanya hal-hal yang menarik dan menyenangkan, sehingga anak tertarik mendapatkannya. Insentif, bisa juga sesuatu yang tidak menyenangkan, maka orang berperilaku tertentu untuk menghindar mendapatkan insentif yang tidak menyenangkan ini. Dapat juga terjadi sekaligus, orang berperilaku tertentu untuk mendapatkan insentif menyenangkan, dan menghindar dari insentif tidak menyenangkan.
2. Pandangan hedonistik
Dalam pandangan hedonistik, seseorang didorong untuk berperilaku tertentu yang akan memberinya perasaan senang dan menghindari perasaan tidak menyenangkan. Contohnya: anak mau belajar karena ia tidak ingin ditinggal ibunya ke pasar/supermarket.
Dari uraian di atas, dapat diasumsikan anak yang malas tidak merasa adanya insentif yang menarik bagi dirinya dan ia pun tidak merasakan perasaan menyenangkan dari belajar.
Memberikan Dorongan Agar Anak Mau Belajar
Sehubungan dengan teori motivasi di atas tentunya bisa dikatakan dengan mudah, ayo kita berikan dorongan agar anak mau belajar. Tapi dorongan seperti apa yang dapat diberikan kepada anak?
Berikut ini adalah beberapa buah saran:
1. Berikan insentif jika anak belajar. Insentif yang dapat diberikan ke anak tidak selalu harus berupa materi, tapi bisa juga berupa penghargaan dan perhatian. Pujilah anak saat ia mau belajar tanpa mesti disuruh (peristiwa ini mungkin jarang terjadi, tapi jika saat terjadi orangtua memperhatikan dan menunjukkannya, hal tersebut bisa menjadi insentif yang berharga buat anak). Pujian selain merupakan insentif langsung, juga menunjukkan penghargaan dan perhatian dari orangtua terhadap anak. Anak seringkali haus perhatian dan senang dipuji. Jadi daripada memberikan perhatian ketika anak tidak mau belajar dengan cara marah-marah, dan ketika belajar tanpa disuruh orangtua tidak memberikan komentar apapun, atau hanya komentar singkat tanpa kehangatan, akan lebih efektif perhatian orangtua diarahkan pada perilaku-perilaku yang baik.
2. Terangkan dengan bahasa yang dimengerti anak, bahwa belajar itu berguna buat anak. Bukan sekedar supaya raport tidak merah, tapi misalnya dengan mengatakan "Kalau Ade rajin belajar dan jadi pintar, nanti kalau ikut kuis di tv bisa menang loh, dapat banyak hadiah. Kan kalau anak pintar, bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya".
3. Sering mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang diajarkan di sekolah pada anak (bukan dalam keadaan mengetes anak, tapi misalnya sembari mengisi tts atau ikut menjawab kuis di tv). Jika anak bisa menjawab, puji dia dengan menyebut kepintarannya sebagai hasil belajar. Kalau anak tidak bisa, tunjukkan rasa kecewa dan mengatakan "Yah Ade nggak bisa jawab, nggak bisa bantu Mama deh. Ade, di buku pelajarannya ada nggak sih jawabannya? Kita lihat yuk sama-sama". Dengan cara ini, anak sekaligus akan merasa dipercaya dan dihargai oleh orangtua, karena orangtua mau meminta bantuannya.
4. Banyak lembaga pra-sekolah yang mengajarkan kepada anak pelajaran-pelajaran dengan metode active learning atau learning by doing, atau learning through playing, salah satu tujuannya adalah agar anak mengasosiasikan belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan. Tapi seringkali untuk anak-anak SD, hal ini agak sulit dipraktekkan, karena mulai banyak pelajaran yang harus dipelajari dengan menghafal. Untuk keadaan ini, hal minimal yang dapat dilakukan adalah mensetting suasana belajar. Jika setiap kali pembicaraan mengenai belajar berakhir dengan omelan-omelan, ia akan mengasosiasikan suasana belajar sebagai hal yang tidak memberi perasaan menyenangkan, dengan demikian akan dihindari.
Membuat Suasana Belajar Lebih Menyenangkan
Selain tidak sering-sering memarahi anak ketika belajar, ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan agar suasana belajar lebih menyenangkan dan anak mau belajar. Hal-hal tersebut adalah:
1. Anak cenderung meniru perilaku orangtua, karena itu jadilah contoh buat anak. Ketika menyuruh dan mengawasi anak belajar, orangtua juga perlu untuk terlihat belajar (misalnya membaca buku-buku). Sesekali ayah-ibu perlu berdiskusi satu sama lain, mengenai topik-topik serius (suasana seperti anak sedang kerja kelompok dan diskusi dengan teman-teman, jadi anak melihat kalau orangtuanya juga belajar). Dengan demikian, anak melihat bahwa orangtuanya sampai tua pun tetap belajar.
2. Pilih waktu belajar terbaik untuk anak, ketika anak merasa segar. Mungkin sehabis mandi sore. Anak juga bisa diajak bersama-sama menentukan kapan waktu belajarnya.
3. Anak butuh suatu kepastian, hal-hal yang dapat diprediksi. Jadi jadikan belajar sebagai rutinitas yang pasti. Misalnya ketika sudah ditentukan, waktu belajar adalah 2 jam setiap hari, pukul 17.00-19.00, maka pada jam tersebut harus digunakan secara konsisten sebagai waktu belajar. Kecuali disebabkan hal-hal yang mendesak, misalnya anak baru sampai rumah pukul 16.30, tentunya tidak bijaksana memaksa anak harus belajar pukul 17.00, karena masih lelah.
4. Anak punya daya konsentrasi dan rentang perhatian yang berbeda-beda. Misalnya ada anak yang bisa belajar terus-menerus selama 1 jam, ada yang hanya bisa selama setengah jam. Kenali pola ini dan susunlah suatu jadwal belajar yang sesuai. Bagi anak yang hanya mampu berkonsentrasi selama 30 menit, maka berikan waktu istirahat 5-10 menit setelah ia belajar selama 30 menit. Demikian untuk anak yang mampu belajar lebih lama.
5. Dalam artikel di Tabloid Nova edisi Maret 2002, disarankan agar orangtua menemani anak ketika belajar. Dalam hal ini orangtua tidak perlu harus terus-menerus berada di samping anak karena mungkin Anda sebagai orangtua memiliki pekerjaan. Namun paling tidak ketika anak mengalami kesulitan, Anda ada di dekatnya untuk membantu. Demikian hal-hal yang dapat disarankan untuk membantu orangtua memberikan motivasi anak agar mau belajar. Semoga berguna dan dapat berhasil diterapkan. Orangtua senang, tidak lelah berteriak-teriak dan marah-marah, anak pun senang tidak dimarahi dan merasa menyukai kegiatan belajar.
0 komentar:
Posting Komentar