Ned Hermann membagi otak dalam empat kuadran, yakni ;
- Kuadran Kiri Atas, disebut sebagai analis dengan dominasi terhadap berfikir logis, analisis fakta, dan pemrosesan angka;
- Kuadran Kiri Bawah, disebut sebagai organisator dengan dominasi terhadap perencanaan, pengorganisir hal teknis dan rinci;
- Kuadran Kanan Bawah, disebut personalis dengan dominasi terhadap interpersonal, intuisi, dan ekspresif; dan
- Kuadran Kanan Atas, disebut sebagai strategis/visualis dengan dominasi terhadap konsep, imajinasi, dan gagasan strategis. Distribusi dominasi otak seseorang tertinggi pada dua dominasi (60%), tiga dominasi (30%), satu dominasi (7%), dan empat dominasi (3%), dikutif dari Taufik Bahaudin (1999) dalam bukunya berjudul "Brainware Management".
Menurut para pakar, dunia memasuki "Era Otak", artinya seluruh aktivitas manusia berbasis otak. Keberhasilan mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) ditentukan oleh keefektifan pengelolaan manusia berbasis otaknya, dan diakui oleh Prof. Diamond seorang neurologist dunia bahwa rahasia yang lebih dalam dari bagian otak manusia adalah bagian yang berurusan dengan ketakutan, kemarahan, emosi, seksualitas, cinta, dan gairah. Bahkan kecerdasan spiritual seseorang dapat dikelola dengan baik melalui keefektifan pengelolaan "God Spot" yang terdapat pada otaknya, demikian Zohar dan Marshall (2001) dalam "Spritual Intelligence". Jalaludin Rakhmat (2005) dalam bukunya "Belajar Cerdas" memperkuat asumsi tersebut, yakni "Belajar cerdas adalah belajar berbasiskan otak. Taufik Bahaudin (1999) menyatakan hal senada, bahwa; "perkembangan manajemen manusia telah memasuki generasi ke-5, yakni "Manajemen Berbasis Otak (Brainware Management)", dan Peter F. Drucker mengatakan bahwa saat ini adalah era "Knowledge to Knowledge Competition" artinya "Bagaimana otak belajar terbaik" menjadi bagian penting dalam menentukan daya saing individu, perusahaan, dan suatu bangsa.
Daniel H.Pink (2006) dalam bukunya "A Whole New Mind" menyatakan hal yang sama bahwa sekarang ini sedang terjadi perpindahan zaman dari era informasi menuju era konseptual, yang dimaknai sebagai "Era Kebangkitan Otak Kanan".
Kesalahan selama ini menurut Marilee Zdenek adalah; "Kita hidup dalam masyarakat yang sangat menghormati mereka yang "dominan menggunakan otak kirinya, yakni mereka yang mudah mengingat nama, pandai berhitung,.. mereka dipuji dan diberikan bintang di sebelah namanya. Sementara anak yang dominan menggunakan otak kanannya; yang melamun dan memandangi awan di langit, lebih suka mengarang dan menulis sajak dari pada belajar disuruh pulang dengan catatan malas dan/atau tidak disiplin", dikutip dari Freed dan Parson, (2006) dalam bukunya "Right Brained Children in a Left Brained World".
Para pendidik cendrungan menggunakan otak kiri yang bersifat auditory, berorientasi kepada fakta dan detail, dan memandang pembelajaran visual itu sebagai orang cacat. Jadi yang disebut sebagai krisis dalam pendidikan dan pembelajaran ini sebetulnya hanyalah kegagalan sekolah mengidentifikasi otak, fikiran dan gaya belajar peserta didiknya, kemudian ketidaktahuan menemukan model pembelajaran terbaik baginya, demikian Freed dan Parsons (2006). Geoge Dorry seorang psikolog Attention Deficit Desorder mengungkapkan rasa kekecewaannya terhadap sikap para pendidik/guru yang selalu mengatakan seorang anak "tidak mampu belajar" hanya karena keterbatasan pemahamannya tentang peserta didik, seperti ketidakpahamannya tentang kerja otak dan gaya belajar peserta didiknya.
Hal semacam ini sering terjadi, siswa menjadi bodoh karena mengalami proses pembodohan oleh pendidik/gurunya sendiri, seperti halnya penyandang cacat menjadi tidak berdaya bukan karena kecacatannya, melainkan lebih disebabkan oleh perlakuan masyarakat terhadap mereka yang tidak memberdayakannya. Orang bijak mengajari kita; "Janganlah menghakimi seseorang sebelum menjadi dirinya. Dunia ini dipenuhi oleh banyak orang yang tajam mata dan jauh pandangnya melihat kesalahan orang lain, tetapi ia menjadi buta mata dan hatinya ketika melihat kelemahan dirinya sendiri".
Howard Gardner (1991) dalam bukunya berjudul "The Unschool Mind" mengatakan bahwa yang terpenting dalam pendidikan dan pembelajaran adalah pemahaman kita tentang bagaimana anak berfikir, dan bagaimana seharusnya pembelajaran bagi mereka. Santiago Ramon y Cajal seorang yang lebih dikenal "Bapak Anatomi Otak" memberikan tambahan penjelasan, yakni; "perkembangan dan pertumbuhan cepat fisik otak sendiri dan jaringan saraf di dalamnya terutama tergantung pada umpan balik dari kegiatan orang yang bersangkutan", demikian dikutif dari Win Wenger (2003) dalam bukunya "Beyond Teaching and Learning".
Sekolah saat ini telah gagal menyekolahkan otak peserta didiknya, karena tidak memahami kerja otak, kita lebih banyak mengatasi kegagalan belajar dengan merusak otak. Sebagian pendidik tidak pernah memperoleh informasi tentang kerja otak manusia, karena ada yang berpandangan bahwa pembelajaran tentang "Otak atau Neurologi" tersebut adalah subject matters di sebuah sudut kecil fakultas kedokteran.
Kenyataannya di di era kebangkitan otak kanan telah memberikan implikasi terhadap dunia pendidikan dewasa ini, misalnya kurikulum sekolah medis/kedokteran di Amerika sedang mengalami perubahan terbesar dalam sejarahnya, yakni para mahasiswa sedang mempelajari pengobatan cerita dan terapi kuasa kata, karena riset memperlihatkan bahwa kendati kekuatan diagnosa komputer, namun bagian penting dari diagnosa terdapat dalam cerita dan bahasa pasien. Dan sedikitnya 50% sekolah medis/kedokteran di seluruh Amerika Serikat telah memasukkan spritualitas ke dalam kurikulumhnya. Di samping itu prestisius Sekolah Bisnis Harvard telah bergeser kepada Master Fine Art (MFA) dimana ijazahnya paling diminati di dunia saat ini, demikian Daniel H. Pink (2006).
Otak bekerja berdasarkan sebuah prinsip "use it ar lose it". Otak tidak sekolah disebabkan oleh banyak faktor, diantara sistem pendidikan dan pembelajaran yang tidak memfasilitasi pertumbuhan organ yang merupakan jati diri kita ini, dan mempersulit para pendidik/guru untuk memahami dan melaksankan pembelajaran yang mendidik. Mungkin sudah saatnya untuk memikirkan kembali pendidikan di negeri yang katanya ingin mencerdaskan kehidupan bangsa ini agar anak datang ke sekolah tidak hanya untuk membayar SPP, duduk, diam, dan pulang.
0 komentar:
Posting Komentar