Jangan remehkan yang tampaknya sepele. Bermula dari yang kecil, dapat
berkembang menjadi besar dan menakutkan. Bermula dari permainan game
elektronik yang ada di HP, jika dibiarkan, dapat menjadi kecanduan game online
beserta segala dampak buruknya. Ada dampak terkait dengan jenis game
yang dimainkan, ada yang terkait dengan kegiatan bermain game itu
sendiri. Berawal dari game online, seseorang dapat menjadi obsesif, agresif, tertantang berjudi, atau penyakit mental lainnya.
Kecanduan sendiri bertingkat-tingkat, tetapi semuanya membawa madharat
dan menyingkirkan maslahat. Pada tingkat paling ringan, anak (bahkan
orang dewasa) akan banyak membuang waktu yang bermanfaat untuk memburu
keasyikan dan menuruti fantasi. Pada tingkat yang lebih berat, banyak
cerita yang dapat saya sampaikan betapa anak yang sangat cemerlang kecerdasannya
pun bisa berubah 180 derajat. Pun seorang suami yang penuh
tanggung-jawab dapat kehilangan perhatiannya. Ia hanya sibuk menuruti
keasyikannya bermain game online, lupa anak lupa istri. Dalam keadaan
seperti itu, jangan tanya ibadah sunnah kepadanya.
Saya perlu sampaikan ini karena belakangan kasus kecanduan game online
semakin merebak dimana-mana. Tak sedikit yang justru menimpa keluarga
orang-orang yang memiliki perhatian besar terhadap agama. Saya juga
merasa amat perlu menulis ini agar kita tidak merasa tenang hanya karena
yang mulai asyik bermain game itu anak yang sudah kuliah atau remaja
putri. Kecanduan game dapat menimpa siapa saja, laki-laki maupun perempuan. Dalam sebuah kasus, seorang mahasiswi terbengkalai skripsinya karena kecanduan game.
Saya tidak berbicara secara rinci tentang berbagai kondisi kecanduan.
Mudah-mudahan lain waktu saya dapat membahasnya. Saya hanya ingin
menunjukkan sebagian keadaan. Pada tingkat yang cukup parah, kecanduan
game dapat memicu sikap ofensif, yakni kecenderungan untuk menyerang
orang lain. Lebih-lebih jika ia merasa terganggu, baik karena dinasehati
atau karena ia merasa tidak nyaman saja dengan kegiatan orang lain,
meskipun itu saudara kandungnya. Anaknya yang sebelumnya manis, lembut
perangainya dan suka membantu, dapat sontak berubah menjadi kasar dan
ringan lidah untuk membentak, meski terhadap ibunya.
Tentu saja tidak akan muncul sikap ofensif kecuali apabila selfish
(hanya sibuk dengan dirinya sendiri, mirip egoisme) menguat. Membentak
dan menyerang secara lisan merupakan bentuk perilaku ofensif yang masih
relatif ringan. Yang lebih parah adalah tindakan fisik. Dan karena yang
bersangkutan sedang kehilangan kendali bersebab pikiran dan emosinya
dikuasai game, maka perilaku ofensif ini dapat ditujukan kepada siapa
saja, termasuk orangtua. Padahal dalam kondisi normal, dia tidakakan
melakukannya.
Jika tidak segera memperoleh penanganan, anak dapat memiliki
kecenderungan destruktif (merusak, menghancurkan). Terlebih jika jenis
game online yang ia sukai termasuk jenis ini, semisal perang. Jika
perilaku ofensif ditujukan kepada siapa pun yang membuatnya merasa
terganggu, meskipun orang itu sebenarnya tidak mengganggu dia, maka
kecenderungan destruktif ini mendorong dia untuk merusak atau bahkan
menghancurkan (milik) orang lain. Boleh jadi ia menujukan tindakan
tersebut kepada orang yang tidak disukainya, atau ia rasa mengganggu.
Boleh jadi ia berlaku destruktif kepada siapa pun disebabkan ia sudah dikendalikan oleh waham akibat game. Inilah yang disebut obsesif.
Yang sangat mengkhawatirkan adalah tingkatan kecanduan game online yang
menyebabkan seseorang terputus secara mental dari lingkungan sosialnya.
Ia bersikap asosial. Ia tak lagi dapat bergaul secara wajar dengan orang
lain, kehilangan kepekaan, tak peduli orang lain terganggu oleh keadaan
dirinya dan bahkan ia lupa diri sendiri. Ada orang yang mampu
berhari-hari bermain game non stop di Warnet (tidak mandi dan tentu saja
tidak shalat), tapi masih dapat berinteraksi dengan orang lain secara
relatif wajar. Tetapi anak –bahkan orang dewasa— yang sudah sampai pada
tingkat asosial, ia dapat berminggu-minggu tidak mandi karena tenggelam
dalam game online maupun fantasi saat ia sedang tidak bermain game. Anak
yang sudah mengalami gejala asosial bersebab kecanduan game, saat
bersama orang lain pun tidak dapat berinteraksi secara wajar. Sebagian
bahkan nyaris tak dapat berinteraksi sama sekali.
ni tentu saja sangat tidak kita kehendaki. Alangkah sia-sia mendidik
mereka bertahun-tahun jika harus hancur oleh game online dalam waktu
beberapa bulan saja. Tak ada artinya kecerdasan mereka yang cemerlang,
prestasi mereka yang menakjubkan dan berbagai keunggulan lainnya jika
harus musnah oleh permainan yang kita beli sendiri alatnya. Karena itu,
justru sebagai bentuk kasih-sayang terhadap anak, kita harus mencegah
mereka dari berdekat-dekat dengan game online yang dapat menjadikan mereka kecanduan.
Dari beberapa kasus yang saya temui, kecanduan game online yang sampai
pada tingkat sangat parah, umumnya terjadi karena orangtua tidak sigap
mencegah saat anak sudah mulai menunjukkan gejala bermasalah, serta
tidak ada ketegasan orangtua dalam melarang. Tak ada konsistensi sikap.
Mungkin orangtua marah, meledak-ledak sesaat, tetapi sesudah itu
aturannya dapat ditawar oleh anak. Sementara ketika anak sudah
benar-benar kecanduan, rasa kasihan orangtua terhadap anak kadang salah
sasaran. Seharusnya rasa kasihan terhadap masa depannya dapat membuat
ibu mengambil sikap tegas tanpa kompromi, tetapi yang terjadi justru
sebaliknya. Ia memberi kesempatan lagi, lagi dan lagi karena tidak tega
melihat anaknya menderita.
Sesungguhnya, cukuplah orangtua dianggap tega dan kejam apabila ia
membiasakan anaknya hidup mudah serta membiarkan anak menikmati
kesenangan yang merusak masa depannya.
Dalam kasus anak sudah benar-benar kecanduan, terlebih sampai tingkat
destruktif atau asosial, salah satu fase yang dilalui dalam proses
terapi oleh profesional maupun penghentian kecanduan oleh pihak keluar
memang sakauw. Anak terlihat sangat menderita karena ia dijauhkan
dari apa yang membuatnya asyik. Anak tampak sangat linglung, frustrasi,
teriak-teriak atau menangsi sendiri merupakan hal yang wajar. Obatnya
adalah didampingi atau dibiarkan dulu dengan pengawasan. Bukan diberi
kesempatan untuk bermain game lagi.
Fase sakauw ini bisa sebentar bisa lama, tergantung tingkat kecanduannya dan kondisi lingkungan saat anak menjadi pemulihan. Setelah fase sakauw berlalu, anak akan berusaha untuk menerima kenyataan
berupa hidup tanpa game. Tapi pada fase ini anak masih rentan kambuh
kecanduannya, sehingga tetap perlu dijauhkan dari perangkat yang dapat
memancing ia untuk bermain game lagi, meski itu hanya berupa HP yang ada
game-nya.
Saya tidak berpanjang-panjang tentang ini. Saya hanya ingin mengajak
Anda semua, juga diri saya sendiri, untuk berhati-hati. Mencegah itu
jauh lebih baik daripada mengobatinya sesudah parah.
0 komentar:
Posting Komentar