Minggu, 06 Juli 2008

Brainware dan Heartware

Jika otak tidak berfungsi lagi, seseorang secara klinis tidak dapat berfungsi sebagai manusia lagi. Demikian pula dengan jantung, jika bagian tubuh ini berhenti berdetak, maka tamatlah riwayat sang pemilik jantung tersebut. Untuk tetap dapat beraktivitas di dunia usaha, pelaku bisnis dan perusahaan juga memerlukan dua hal yang berfungsi seperti otak dan jantung, untuk menjamin kelangsungan hidup di era persaingan hiperkompetitif seperti sekarang ini. Kedua hal tersebut adalah brainware dan heartware, yaitu keterlibatan kompetensi inti dan emosional dalam menjalankan usaha.

Brainware
Teknologi terus berkembang, inovasi baru senantiasa dilahirkan, metode pengambilan keputusan pun juga semakin diperbaharui untuk mencapai produktivitas, efisiensi, dan efektivitas operasional yang lebih baik. Semua perubahan ini bergulir dengan kecepatan tinggi. Di era informasi dengan persaingan superkompetitif, perusahaan yang kemampuan SDMnya hanya diperbaiki sejalan dengan kemajuan teknologi, akan berjalan di tempat. Apalagi jika perusahaan sama sekali tidak mengusahakan adanya pembelajaran yang berkelanjutan bagi para karyawan (yang pasti, perusahaan seperti ini akan dengan cepat tertinggal, dan tidak akan dilirik lagi oleh konsumen mereka, karena teknologi yang sudah ketinggalan zaman, cara-cara pelayanan yang sudah tidak tepat). Dengan demikian, perusahaan dan karyawan perlu saling membahu untuk menerapkan paradigma pembelajaran yang berkelanjutan. Pembelajaran ini pun harus diusahakan lebih cepat dari kecepatan belajar industri yang ditekuni. Ada banyak cara yang bisa dilakukan, dua di antaranya adalah sebagai berikut.

  • “Knowledge Management”

  • Pengetahuan, atau informasi yang sudah diolah, merupakan alat saja yang dapat membantu perusahaan dalam mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan operasionalnya. Pengetahuan ini bisa dikendalikan oleh manusia. Untuk itu, perusahaan perlu mencari, menciptakan, dan mempertahankan sumber daya manusia yang memiliki ataupun yang dapat membuka akses untuk memperoleh informasi tepat yang diperlukan. Jika informasi sudah diperoleh, perusahaan perlu mengelolanya sedemikian rupa sehingga dapat digunakan bersama oleh orang-orang yang tepat agar hasilnya juga optimal. Untuk itu peran Knowledge Management (KM) menjadi penting.
    Dengan KM yang tepat, perusahaan bisa mengembangkan sistem informasi canggih yang dapat dimanfaatkan tidak hanya oleh para pimpinan di kantor pusat, bahkan juga oleh mereka yang berada di cabang-cabang dan perwakilan perusahaan di seluruh pelosok dunia pada waktu yang bersamaan. Jadi, knowledge management dapat memperlancar information sharing dalam perusahaan, yang pada akhirnya dapat menumbuhkan budaya inovasi, pembelajaran yang berkelanjutan dan peningkatan kualitas dari SDM perusahaan. Knowledge management yang memungkinkan terjadinya information sharing, mempermudah pengambilan keputusan, dan juga bisa memperlancar komunikasi antarkaryawan, antarkaryawan dan target pasar, supplier, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap perusahaan (pemerintah, investor, dan masyarakat umum). Sistem komunikasi yang tertata dengan baik ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keharmonisan hubungan internal dan eksternal perusahaan. Misalnya: walaupun para karyawan sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, mereka masih bisa berkomunikasi melalui intranet dan internet, ataupun dengan memanfaatkan teknologi komunikasi lainnya (telepon, fax, video conferencing, dll). Kondisi positif tersebut, pada akhirnya, dapat meningkatkan kualitas produk, jasa dan pelayanan yang diberikan perusahaan pada target pasarnya di seluruh dunia.

  • “Creative Destruction”

  • Di dunia usaha yang diwarnai dengan perubahan yang berlari dengan sangat cepat, hampir tidak mungkin lagi bagi sebuah perusahaan untuk hanya menjagokan kualitas produk dan jasa yang dihasilkan saat ini sebagai titik saing, karena produk yang berhasil di pasar akan memacu pelaku bisnis lainnya untuk dengan cepat melakukan “duplikasi” terhadap produk dan jasa yang berhasil merebut hati pasar. Jadi, seperti yang diusulkan oleh Richard Foster dan Sarah Kaplan dalam buku mereka Creative Destruction, sebuah perusahan harus senantiasa melakukan “penghancuran yang kreatif” terhadap produk dan jasa unggulan mereka dengan teknologi yang lebih canggih, cara yang lebih baik, agar tetap tampil terdepan di industri yang mereka tekuni. Caranya? Tentu saja dengan terus-menerus meningkatkan brainware dari sumber daya manusia yang menunjang kegiatan perusahaan. Sebagai contoh, di industri telepon genggam, para pemainnya tidak bisa terlena dengan kesuksesan produk unggulan mereka saat ini. Mereka harus dengan cepat memperkenalkan produk baru dengan teknologi yang lebih canggih, pelayanan yang lebih prima, fasilitas yang lebih banyak. Tentunya, kedatangan produk baru ini yang secara multidimensional lebih baik bisa “membunuh” produk unggulan yang sudah terlebih dahulu diproduksi (baik produk perusahaan yang sama, atau produk dari perusahaan yang berbeda). Tetapi ini memang tindakan yang harus diambil untuk menjaga posisi perusahaan di industri ini agar tidak terkejar oleh para pesaing.

    Heartware
    Terpuruknya perusahaan-perusahaan kelas dunia seperti Enron dan Worldcom, karena ketidakjujuran,, manipulasi data keuangan, dan tanggung jawab perusahaan yang rendah terhadap publik, telah memberikan peringatan bagi pelaku bisnis lainnya untuk meninjau kembali perangkat “hati nurani” mereka. Perusahaan tidak hanya dituntut untuk menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas, membukukan profit besar, tetapi juga dituntut untuk menunjukkan “hati nurani” yang bersih, antara lain dalam bentuk kepedulian sosial dan lingkungan. Misalnya saja kasus sebuah perusahaan yang merusak lingkungan tempat mereka beroperasi dengan membuang limbah ke sungai yang digunakan oleh masyarakat sekitar untuk keperluan sehari-hari. Akibatnya, masyarakat menjadi sengsara, dan menuntut agar pabrik perusahaan tersebut ditutup segera. Hal ini juga terjadi dengan sebuah perusahaan asing di Irian Jaya. Masyarakat setempat yang merasa bahwa perusahaan ini tidak memperhatikan kesejahteraan mereka, melakukan teror terhadap kegiatan usaha perusahaan ini. Akibatnya, kegiatan bisnis pun terganggu, dan yang lebih parah lagi, banyak korban berjatuhan dari pegawai perusahaan.
    Dari gambaran yang sudah dibahas di atas, jelaslah, tuntutan masyarakat terhadap “hati nurani” perusahaan harus menjadi perhatian pelaku bisnis, jika mereka ingin tetap melakukan kegiatan usaha yang berkelanjutan.

  • “Customer Relationship Management”

  • Untuk menunjukkan hati nurani yang tulus perusahaan perlu menciptakan hubungan yang harmonis dengan para pelanggan. Persaingan yang makin ketat menyebabkan perusahaan harus bertindak cerdas untuk tampil sebagai pemenang. Di era teknologi canggih, dan informasi yang berlimpah, tidaklah sulit bagi perusahaan-perusahaan untuk menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas prima. Jadi perubahan persaingan sudah tidak lagi pada kualitas, karena kualitas sudah merupakan keharusan bagi para pelaku bisnis yang ingin tetap berada di arena persaingan usaha. Angin persaingan telah berubah arah dari kualitas ke kepuasan pelanggan.
    Perusahaan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan adalah perusahaan yang mampu menumbuhkan kepercayaan di hati pelanggan. Rasa kepercayaan yang terakumulasi dapat membangun kredibilitas perusahaan. Inilah yang dapat menarik perhatian pelangggan baru, dan membuat mereka beralih ke perusahaan yang dianggap kredibel tersebut. Rasa percaya ini juga dapat menyebabkan pelanggan menjadi setia, bahkan dapat membantu perusahaan untuk membawa pelanggan-pelanggan baru kepada perusahaan. Menumbuhkan kredibilitas memerlukan waktu dan komitmen dari seluruh elemen yang ada dalam perusahaan, dari tingkat teratas ke tingkat yang paling dasar.
    Perusahaan yang sukses di era yang penuh persaingan memaksa perusahaan untuk berorientasi pada konsumen. Bahkan, semua keputusan perusahaan harus memperhatikan kepentingan konsumen yang makin kompleks. Tak kenal maka tak sayang, begitu kata pepatah. Demikian juga dalam menghadapi konsumen, perusahaan harus benar-benar mengenal tiap konsumen mereka, yaitu dengan cara membina hubungan yang harmonis dengan target pasar. Perusahaan dapat membangun hubungan dengan pelanggan dengan berbagai cara. Di dunia nyata, perusahaan bisa menumbuhkan fasilitas layanan konsumen di tiap outlet mereka. Pimpinan perusahaan bisa memberi contoh nyata, dan juga memberi pelatihan bagi para karyawan untuk menumbuhkan budaya layanan pelanggan. Teknologi internet dengan knowledge management-nya pun bisa dimanfaatkan untuk mengenal pelanggan lebih detail (melalui informasi lengkap pelanggan yang dapat diakses oleh pengambil keputusan).
    Kondisi ini telah mendorong perusahaan untuk menggeser paradigmanya dari persaingan dalam kualitas menjadi persaingan dalam memuaskan pelanggan; dari tujuan memanfaatkan pelanggan menjadi tujuan memenangkan kepercayaan pelanggan; dan dari orientasi pada perusahaan (semua keputusan didasarkan pada kepentingan perusahaan) menjadi orientasi pada pelanggan (semua tindakan senantiasa mempertimbangkan dampaknya pada pelanggan).

  • "Kepedulian"

  • Dulu, fokus kegiatan di dunia usaha pada hanyalah berkisar pada keuntungan finansial semata. Para pelaku bisnis belum dituntut untuk memperdulikan dampak kegiatan bisnis mereka terhadap pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan (baik terkait langsung ataupun tidak langsung). Sekarang, praktik bisnis tanpa memperhatikan tanggung jawab terhadap lingkungan internal (misalnya: karyawan, pemegang saham) maupun eksternal (misalnya: masyarakat umum, dan lingkungan) sudah tidak bisa lagi dijalankan.
    Di tengah masyarakat yang makin mudah memperoleh informasi, makin peka terhadap pentingnya menjaga lingkungan, makin tau akibat buruk dari korupsi dan pelanggaran etika, perusahaan juga dituntut untuk memiliki kepedulian tinggi, tidak hanya pada kegiatan bisnis mereka tetapi juga pada tuntutan masyarakat, yang menjadi konsumen, calon konsumen, investor dan calon investor mereka. Berbagai organisasi juga muncul untuk menyuarakan kepedulian masyarakat terhadap berbagai masalah, misalnya: kesehatan (World Health Organization), lingkungan (Greenpeace ditingkat global, Walhi di tingkat nasional), kesejahteraan konsumen (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), dan kode etik bisnis (Komite Nasional untuk Good Corporate Governance, Indonesian Corruption Watch). Ketidakpedulian terhadap tuntutan masyarakat dapat mengakibatkan perusahaan dikenakan sanksi pemboikotan terhadap produk dan jasa yang dihasilkan perusahaan, bahkan perusakan dan penutupan usaha. Jadi, “Tanpa kepedulian, tak ada bisnis.”
    Untuk menunjukkan kepedulian terhadap masyarakat, perusahaan bisa menjadi mendukung kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, misalnya dengan memberikan beasiswa bagi putra-putri masyarakat setempat, membantu korban bencana alam, dan memberi bantuan kemanusiaan ke daerah-daerah yang membutuhkan. Untuk menunjukkan kepedulian terhadap kesehatan, perusahaan makanan dan minuman bisa mencantumkan secara jujur bahan-bahan dasar produk mereka, izin dari pemerintah, mencantumkan label “halal,” serta mencantumkan kontra indikasi yang mungkin timbul untuk tindakan peringatan. Sedangkan untuk kepedulian pada lingkungan, perusahaan bisa menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan, proses produksi dengan limbah yang telah diolah dengan tepat agar tidak mencemarkan lingkungan, serta melakukan upaya yang dapat mempertahankan kelestarian lingkungan.

  • “Good Corporate Governance”

  • Para pelaku bisnis juga dituntut untuk mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang mewajibkan mereka untuk mempraktikkan good corporate governance (GCG). Sebagai akibatnya, perusahaan yang dinilai layak untuk “go public” adalah perusahaan yang telah lulus “fit and proper test” dalam GCG. Untuk itu, para pimpinan dalam sebuah perusahaan yang akan “go public” tidak bisa lagi hanya mengandalkan kemampuan, kehebatan, dan pengalaman mereka yang brilian di dunia bisnis, tetapi juga harus mematuhi peraturan yang menuntut kriteria “fit and proper” dalam hal etika. Untuk fungsi pengendalian, peraturan dan perundang-undangan tentang praktik bisnis juga mewajibkan perusahaan untuk menunjuk komisaris yang independen yang dapat memberikan masukan yang objektif pada dewan direksi untuk mengambil keputusan. Perusahaan juga diwajibkan untuk memiliki lembaga audit yang independen untuk memeriksa keuangan perusahaan bersama-sama dengan auditor.
    Perusahaan yang tidak menerapkan GCG, pada akhirnya akan ditinggalkan oleh masyarakat, dicampakkan oleh investor, dan dinilai melanggar hukum. Perusahaan seperti ini akan kehilangan kesempatan untuk meneruskan kegiatan usahanya. Di lain pihak, perusahaan yang telah mempraktikkan GCG dapat menciptakan nilai positif bagi masyarakat, investor, supplier, distributor, pemerintah, dan hukum. Tentu saja hal ini akan berdampak baik bagi kelanjutan usaha perusahaan tersebut yang telah lulus “GCG test.” Singkatnya, GCG sudah bukan lagi hal yang perlu diperdebatkan, melainkan sudah menjadi keharusan bagi setiap pelaku bisnis untuk diterapkan.
    Sangat penting bagi setiap pelaku bisnis untuk memiliki brainware yang prima—yang dapat membantu mereka untuk senantiasa berpikir positif sehingga dapat mengubah tantangan menjadi peluang untuk menang. Brainware seperti ini belum lengkap untuk memenangkan persaingan. Pelaku bisnis juga perlu ditunjang dengan heartware kelas utama agar dapat melengkapi diri dengan kredibilitas dan tanggung jawab tinggi untuk memenangkan kepercayaan target pasar secara khusus, dan masyarakat secara umum. Kombinasi brainware dan heartware yang tepat merupakan senjata ampuh bagi para pelaku bisnis untuk menjamin kelangsungan hidup mereka di dunia usaha.


    0 komentar: