Minggu, 06 Juli 2008

Mikul Dhuwur Mendem Jero

Tiap peribahasa ini memiliki makna yg dalam. Tapi apakah tiap peribahasa itu bisa dimaknai sesuai dengan zamannya? Atau bahkan maknanya bisa berubah, tergantung siapa yang memberi tafsiran? Bagaimana menurut Anda?

Saya yakin akan seru kalau kita berbicara ttg ini: witing trisno jalaran soko kulino. Tp kali ini saya mau membahas dulu apa makna yg ada dalam peribahasa Jawa: “mikul dhuwur” “mendem jero”. Salah satu dari 14 prinsip filosofi jawa.

Menurut buku pepak boso jowo dan sapolo boso (ini bukan kitab suci orang Jawa kuno, ini buku pegangan untuk pelajaran Bhs Daerah Jawa saat masih SD-SMP ) adalah menghormati pemimpin atau keluarga dengan mengenang jasanya dan menutupi keburukannya. Jadi orang Jawa dengan “mikul dhuwur” mendem jero-nya berusaha menanamkan nilai betapa pentingnya menjaga nama baik keluarga, kelompok, atau pun bangsanya.


Mikul Dhuwur

Frasa “mikul dhuwur” arti konotasinya kira-kira memikul/menjunjung setinggi-tingginya. Makna yang terkandung di dalamnya adalah hendaknya setiap anggota keluarga- suku, bangsa, atau jenis kumpulan manusia lainnya- menjunjung tinggi–setinggi-tinggnya nama baik kelompok di muka umum. Hal ini bisa diartikan dengan mengekspos dan menghormati keunggulan-keunggulan kelompok di depan khalayak ramai.

Konotasi Positif
Konsep “mikul dhuwur” seperti di atas rupanya juga dipake oleh negara-negara dalam lingkup hubungan luar negeri mereka. Ambil contoh Indonesia dengan “Visit Indonesia 2008″ atau Malaysia dengan jargon “Malaysia truly Asia”. Itu contoh politik luar negeri dua bangsa rumpun melayu dalam bidang pariwisata.


Konotasi Negatif
“Mikul dhuwur” juga diterapkan dalam bidang perfilman. Contohnya tiap seri film Rambo (jadi ingat Rambo IV yang sadis ). Apapun lawannya, berapapun jumlahnya, hollywood dengan Rambo-nya ingin menunjukkan bahwa Amerika adalah bangsa yang perkasa. Kita juga bisa melihat hal sejenis di berbagai film hollywood.

Kita coba kembali ke masa lalu. Di kala Soviet masih pantas disebut berjaya. Di kala itu pula dua adikuasa mencoba me-”mikul dhuwur” ketenaran kekuatannya. Adu uji coba rudal antara USSR dan USA bukan hal yg aneh waktu itu. Ingat pula siapa yg pertama kali mengeksplorasi ruang angkasa?! Ya… seorang kosmonot Soviet. Sebuah usaha dari pemerintah Soviet untuk me-”mikul dhuwur” martabat bangsanya.

Amerika Serikat tak mau kalah. Bila Soviet menjelajahi langit, maka Amerika menjelajahi bawah laut… yang kala itu sama misteriusnya dengan ruang angkasa. Tujuannya pun sama, “mikul dhuwur” bangsanya.

Ribuan contoh akan kita temukan tentang usaha suatu negara untuk menjunjung tinggi martabat rakyat atau pemimpinnya. Tentu masih ingat dengan gelar Pemimpin Besar Revolusi, Bapak Pembangunan, Panglima Besar, dll. Bahkan tujuan pembuatan Curiculum Vitae pun adalah untuk “mikul dhuwur” di pemilik CV.

Dan… orang Jawa membahasakan itu semua dalam frasa “mikul dhuwur“. (mungkin di budaya lain prinsip seperti ini juga ada, hanya saja saya tidak tahu).


Mendem Jero

Beralih ke pasangan “mikul dhuwur“. Frasa “mendem jero” kira-kira arti konotasinya memendam/mengubur sedalam-dalamnya. Memendam/menutupi segala keburukan, aib, dan kelemahan. Dalam konotasi positif, “mendem jero” dimaknai sebagai usaha untuk menjaga nama baik keluarga, orang tua, masyarakat, atau jenis kelompok manusia lainnya.

“Mendem jero” dalam konotasi negatif bisa dimaknai menutupi kekurangan yang seharusnya diketahui orang (yang seharusnya transparan).

Berbincang mengenai tutup-menutup keburukan, saya jadi teringat istilah ghibah. Saya yakin banyak yg tau apa itu ghibah. Ghibah dalam bahasa Jawa artinya ngrasani. Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan membicarakan keburukan orang. Dalam kaidah bahasa Arab, ghibah itu tidak sekedar membicarakan keburukan orang. Disebut ghibah ketika orang yang dibicarakan tidak mau keburukannya diketahui orang lain atau tujuan pembicaraan tersebut bukan untuk mencari solusi.

Oleh karena itu, bukan disebut ghibah bila membicarakan orang yang bangga dengan keburukannya (agul ku payung butut kata orang Sunda) atau setidaknya tidak malu akan keburukan tersebut. Atau bila kita membahas keburukan tersebut untuk mencari solusi.

Kembali ke “mendem jero“. Prinsip “mendem jero” mengajarkan pada kita menutupi aib yang kita miliki. Di mana aib tersebut memang tak perlu diketahui orang lain. Misalnya mungkin Anda (bukan saya… hehe ) masih suka ngompol pada umur setua ini. Aib tersebut tak perlu diketahui orang lain. Apa lagi ditulis di CV . Membohongi masyarakat kah??! Tentu tidak. Kita tidak berbohong. Kita hanya tidak mengatakan seluruh kenyataan. Toh kenyataan tersebut tidak “merugikan” siapa pun.

Jadi teringat email dari seorang saudara perempuan di milis csui05 kemarin. Email tentang “keharusan” menutupi aib. Email tersebut menyebutkan bahwa Rosulullah (semoga sholawat dan salam tetap tercurah pada beliau) berwasiat kepada Saidina Ali bin Abi Tholib ra. Dalam wasiat tersebut (pada salah satu bagiannya) Rosulullah SAW mengatakan bahwa ada 3 ciri orang yang JUJUR:
1. Merahasiakan ibadahnya.
2. Merahasiakan sedekahnya.
3. Merahasiakan ujiannya yang menimpa kepadanya.
Catatan penulis : Karena orang jujur kemungkinan kecil menerima adzab maka keburukan-keburukan yang dimilikinya merupakan bagian dari ujian. Dan… sanad dari hadist tersebut tidak dicantumkan. Jadi meskipun (menurut saya) makna dari hadist tersebut luar biasa, hadist tersebut tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk mengambil keputusan.

Inti dari menutup aib (mendem jero) adalah jangan ceritakan keburukan (kita, teman, keluarga) pada orang lain yang tidak berkepentingan dengan hal tersebut. Salah satu dua contoh yang berkepentingan di sini misalnya orang yang kita yakin bisa memberi solusi terhadap aib tersebut atau kepada orang yang akan kita pinang untuk jadi pasangan hidup(kan terus terang luar dalam… ).

“Mikul dhuwur mendem jero“. Adalah salah satu produk bangsa kita yang mengajarkan untuk menjunjung tinggi kehormatan dengan mengemukakan keunggulan dan menutupi keburukan. Saya yakin bahwa di setiap akar budaya suku manapun di Indonesia pasti tersimpan nilai-nilai yang luar biasa. Adakah yang mau berbagi ilmu tentang nilai-nilai itu??

Nah, kalau begitu. Mulai sekarang mari kita “mikul dhuwur “mendem jero” marang bansane” — menjunjung tinggi kehormatan bangsa kita-Indonesia. Saatnya tunjukkan pada dunia bahwa kita memang bangsa yang besar. Ok…!


0 komentar: