Rabu, 09 Juli 2008

Menggugat Rezim Otak Kiri (1)

DUNIA pendidikan kita kini sedang dalam kondisi kritis dan memprihatinkan. Penyebabnya bukan saja anggaran pemerintah yang relatif rendah, tetapi juga ketiadaan visi serta politik pendidikan nasional yang jelas. Konsep pendidikan pun tereduksi menjadi sekadar kegiatan pengajaran yang dipersempit menjadi kegiatan kelas. Kini yang berlangsung di kelas, guru hanya mengejar target kurikulum sementara peserta didik dipacu mengejar Nilai Ebtanas Murni (kini Nilai UAN Murni).


Karena itu, apa pun kebijakan dan inovasi pendidikan yang telah dilakukan pemerintah maupun kalangan swasta, sadar atau tidak lebih diperuntukkan bagi mereka yang ber-intelligence quotient (IQ) tinggi. Padahal, fakta menunjukkan peserta didik yang memiliki otak relatif "encer", paling banyak hanya sekitar 10 persen-30 persen. Terlebih bila dikaitkan dengan model kurikulum di Indonesia yang tidak mengenal gradasi kemampuan peserta didik mulai dari yang kurang, rata-rata, pandai, hingga genius. Kendati saat ini beberapa sekolah mulai mencoba membuka kelas akselerasi dan kelas imersi, tidak pada tempatnya bila kita semata-mata menyalahkan peserta didik: yang tidak berdisiplin, yang malas belajar, tatkala menjumpai kualitas hasil belajar mereka cenderung terus menurun.

SEPERTI pernah dikatakan Pater Drost SJ (2000), sekolah kita kian lama kian menyangkal adanya gradasi kemampuan peserta didik. Di tahun 1950-an masih ada beberapa jenis sekolah, misalnya SMP-A, SMP- B, SMEP, SKP, ST, SMEA, SMA A, B, C (SMA IPA, SMA IPS, SMA Bahasa). Namun, sejak 1994 muncul pengebirian varian pada tiap jenjang sekolah sehingga untuk jenjang lanjutan pertama, yang ada hanya SMP dan SMA untuk jenjang lanjutan atas. Meski sekolah kejuruan menengah atas tetap ada, atensi lebih banyak diberikan kepada SMA. Yang mengherankan, pemerintah malah asyik dengan bermain singkatan kata (word abbreviation) yang tidak memiliki urgensi apa-apa; seperti misalnya SMP dan SMA diubah menjadi SLTP dan SMU serta pembakuan berbagai sekolah kejuruan menengah atas menjadi SMK. Namun, pada akhirnya tahun ini diputuskan untuk kembali lagi menjadi SMP dan SMA.

Bila sekolah memang hanya ditujukan untuk mereka yang berotak "encer", bagaimana nasib peserta didik yang hanya dianugerahi kepandaian sedang atau kurang? Tegakkah kita melihat emotional quotient mereka hancur lalu menjadi generasi frustrasi? Bagaimana seandainya mereka lalu melakukan penyimpangan-penyimpangan (delinquency) sebagai manifestasi pembelaan diri (defence mechanism)? Memang tidak dimungkiri, tugas sekolah adalah membentuk insan-insan intelektual yang mampu dan sanggup menjadi manusia demi manusia lain dalam lingkup profesinya. Namun, jangan lantas keburu menggarisbawahi intelektualitas saja dan melupakan yang empunya, yakni manusia. Artinya, selain penekanan aspek kognitif, pembentukan watak, karakter, harkat, dan martabat harus mendapat porsi seimbang.

Namun, dengan pengidolaan ilmu matematika, aritmatika, fisika, maupun kimia oleh orangtua dan guru serta menjadikan arogansi peserta didik yang meminatinya, menunjukkan sekolah rupanya sedang digiring ke ranah teknologis yang bersifat logis, rasional atau masuk akal. Sampai-sampai mata pelajaran agama pun diakses sekadar sebagai sebuah ritual, seremonial, tanpa pemahaman spiritual yang memerlukan pemikiran lebih daripada hanya menghafal yang menjadi porsi otak kiri. Dengan demikian, bila tidak memiliki kemampuan memorisasi cukup tinggi, peserta didik akan terdaftar dan terdata sebagai yang kurang berhasil dalam pendidikan. Dengan kata lain, memorisasi dianggap sebagai sebuah produk utama yang akan menunjang keberhasilan seseorang di masa depan.

YANG harus betul-betul dicermati kini adalah saat kurikulum pendidikan disetel dominan ke arah pembelajaran hafalan atau otak kiri, apakah kita juga menyadari, sebenarnya kita sedang dibentuk menjadi robot yang kualitasnya lebih bersifat materi saja? Ketika itu kita tarik dalam cakupan makro, maka akan terlihat motivasi jajaran elite pendidikan yang ingin mencetak generasi muda menjadi intelektual-intelektual tukang untuk melanggengkan sebuah dinasti. Hal ini banyak terjadi di negara dengan sistem yang jelas membatasi rakyatnya berpikir divergent atau negara yang mempraktikkan pseudodemokrasi.

Bagi yang nekat mengembangkan pola pikir divergent, mereka akan mudah dicap sebagai subversif karena keluar dari pakem yang sama artinya dengan menentang penguasa. Hal ini jelas akan memudahkan penguasa dalam mengorganisasi dengan cara totaliter dan otoriter. Mereka tidak akan dipusingkan oleh ulah provokator kreatif sebab hanya dikelilingi rakyat "berotak kiri" yang sulit bereaksi kendati mengalami tekanan dalam segala bidang. Sebuah bentuk pembajakan otak untuk tidak berpikir kreatif dan keluar dari jalur (lateralthinking).

Maka, bila lembaga-lembaga pendidikan masih saja tak bergeming dari penekanan sequentialitas, linieritas, dan detailitas pola berpikir peserta didik, produk yang dihasilkan pun akan lebih berorientasi pada pakem, ketundukkan, dan kepatuhan dibandingkan dengan attitude dan meaning of life. Kemapanan dan status quo mungkin akan menjadi moto hidup sehingga ketika mereka memiliki otoritas pun akan memersepsikannya sebagai sebuah kelanggengan. Bawahan atau pengikutnya akan dikendalikan sedemikian rupa sehingga hanya mampu berpikir mekanis. Artinya, bawahan tidak akan berbuat macam-macam yang tujuannya mengguncang kekuasaan.

Jadilah generasi terdidik kita bermental pegawai yang miskin imajinasi dan lemah karakter serta cenderung mengabdi pada kapitalisme-kapitalisme. Mereka terdegradasi status dan martabatnya sebagai pemeran pembantu atau obyek penderita. Padahal menurut Amartya Sein, peraih hadiah Nobel dari India, dalam buku Development as Freedom, tolok ukur keberhasilan pendidikan khususnya adalah seberapa jauh semua usaha yang telah dilakukan memberi ruang dan fasilitas yang lebih luas bagi pengembangan kepribadian dan kebebasan masyarakatnya. Dengan kata lain, proses dan hasil pembangunan dinilai gagal bila tidak mampu meningkatkan harkat kemanusiaan. Terlebih harus disadari, tren dunia pendidikan abad 21 ini tidak dapat lagi memusatkan pada kemampuan teknikal dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi alam sebagaimana abad-abad sebelumnya, tetapi bagaimana mengembangkan potensi manusia.

Mengacu pada hasil sebuah penelitian neuropsikologi membuktikan, potensi manusia yang sudah teraktualisasikan baru sekitar 10 persen sehingga masih terbuka segala kemungkinan yang berkaitan dengan peradaban manusia di masa datang, baik yang bersifat positif maupun negatif. Tentu saja yang diharapkan adalah adanya inovasi-inovasi yang positif sehingga prestasi peradaban akan dapat diraih secara cepat dan efektif. Kemudian muncul istilah-istilah seperti brainware management yang intinya bagaimana mengoptimalkan potensi mind dan brain, quantum learning, accelerated learning, learning revolution, dan sebagainya. Asumsi jika mampu menggunakan potensi nalar dan emosi secara jitu, manusia akan mampu membuat loncatan-loncatan prestasi yang tidak bisa diduga sebelumnya.

Namun, jangan diinterpretasikan, menggugat dominasi otak kiri berarti ingin menafikan perannya, tetapi lebih pada bagaimana menciptakan equilibrium (keseimbangan). Dari sudut pandang filsafat, keseimbangan artinya tidak ada kanan maupun kiri, tidak ada atas maupun bawah. Ia tidak membutuhkan posisi ekstrem. Keseimbangan berarti tidak ada apa-apa, kosong; kekosongan yang seimbang. Demikian halnya dengan keseimbangan berpikir. Ketika tercapai keseimbangan berpikir, sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Hanya saja kita tidak akan tahu bagaimana keseimbangan berpikir itu tercapai. Bahkan kita juga tidak tahu dalam posisi keseimbangan yang bagaimana. Oleh karena itu, jangan berpikir mengenai hasil akhir karena hanyalah sebuah reward of journey. Sementara the destination of journey adalah sebuah keyakinan bahwa keseimbangan itu sendiri adalah hidup.

KITA semua memahami, berpikir adalah sebuah pekerjaan mental, baik dengan otak kanan maupun kiri. Yang membedakan hanya karakter pandang masing-masing belahan. Selanjutnya tergantung bagaimana kita memberdayakan karakter-karakter yang ada. Jumlahnya pun di masing-masing belahan tidak tergolong sedikit, sekitar 40 karakter. Memang karakter itu sendiri tidak kasad mata sehingga tidak mengherankan bila kita melupakannya. Yang jelas, masih banyak karakter otak kanan yang sama sekali tidak berkembang atau sengaja tidak dikembangkan sejak lahir. Sekian banyak karakter otak kanan terabaikan hanya karena kuatnya sebuah rezim mengangkangi pola berpikir kita.

Saat banyak orang tersadar otak kanan mesti diberdayakan, dunia usaha pun jeli menangkap peluang. Maka, menjamurlah kursus-kursus tentang emotional quotient yang menawarkan pembelajaran perihal karakter emosi. Tidak hanya itu, peserta pun diberi garansi akan mencapai kematangan emosi dengan data akurat berupa skor angka setelah melewati berbagai tes. Tanpa sadar, mereka yang mengikuti kursus itu terjebak sebuah kamuflase. Modul pelatihan diarahkan ke otak kanan, tetapi proses pelatihan itu sendiri masih mempergunakan otak kiri yang mekanis. Selain itu, aspek emosi seharusnya tidak boleh diukur dalam sebuah tes layaknya mengukur IQ, lalu diangkakan lewat penghitungan matematis. Bukankah itu sebuah upaya pembodohan serta siasat licik dunia bisnis yang lagi-lagi mengabdi pada kapitalisme-materialisme?

Karena itu, insan-insan yang berkiprah di dunia pendidikan mulai sekarang harus memberanikan diri mereformasi pola berpikir yang selama ini mengekor pada pola politik pemerintahan atau rezim tertentu demi melanggengkan status quo. Jadilah pendidik yang berkapasitas otak baru dan seimbang, kanan dan kiri, layaknya sebuah orkestra yang apik. Lalu, tularkan kepada peserta didik sembari mengajak mereka belajar menyiapkan kehidupan masa depan secara holistis dan terpadu sehingga mereka benar-benar menemukan quality of life yang sejati.


0 komentar: