Minggu, 06 Juli 2008

Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe, Banter tan Mbancangi, Dhuwur tan Ngungkuli

Sekali lagi tentang peribahasa. Dan tentu saja Jawa (baru budaya Jawa yang saya pahami). Secara kata-perkata, “Sepi ing Pamrih, Rame ing Gawe, Banter tan Mbancangi, Dhuwur tan Ngungkuli” artinya sepi dalam pamrih, ramai(banyak/rajin) dalam bekerja, cepat tanpa mendahului, tinggi tanpa melebihi .
Benar-benar kaya bangsa ini akan nilai luhur. Kita, sebagai pewaris negeri (jadi ingat playlist ) cukup tinggal melaksanakan dan mewariskannya saja.

“Sepi ing pamrih rame ing gawe” menanamkan pada kita bahwa bekeja keras itu tak perlu banyak pamrih. Pamrih boleh ada, asalkan sepi-sepi saja dan gawe-nya banyak. Jadi, kalau mau bantu orang, tidak perlu memikirkan pamrih. Meninggalkan kesan baik pada orang yang kita bantu itu harganya jauh lebih luar biasa daripada pamrih yang kita harapkan.
Jadi teringat kata-kata ini, “Kami tidak mengharapkan sesuatu pun dari manusia. Tidak mengharap harta benda atau imbalan lainnya. Tidak juga popularitas. Apalagi sekedar ucapan terimakasih.” Terimakasih kepada Imam Hasan Al Banna atas nasihatnya.
Beberapa bulan lalu, saya pernah bantu setting modem broadband temen. Modemnya sih cupu, tetapi bagi orang-orang yang jarang mainan sama barang begituan, setting jadi kelihatan ribet. Dan alhamdulillah, dengan sedikit jurus (yang tidak) sakti, modem itu berhasil disetting di komputer .
Terus, satu bulan lalu, temen saya itu yang-modemnya-minta disetingin sms saya, “Mas, Bapak-X minta kamu telp. Ini nomornya”. Ngapain juga saya kudu nelpon, yang butuh kan dia. Begitu pikiran pertama keluar. Tapi, saya coba-coba aja meneladani Nabi SAW. Nyoba berbaik sangka dulu. Ya, saya telp Bapak-X tersebut. Akhir cerita, saya dapat informasi dan petuah yang sangat jitu.

Banter tan mbancangi, dhuwur tan ngungkuli mengajarkan kita supaya “sakti” tapi tetap rendah hati. Kalau kita pinter ya mbok jangan membuat orang lain merasa minder. Kalau hebat, mbok ya tetep bisa merakyat. Kalau jago, ya mbok jangan membuat kawan terlihat bodoh.
(Mungkin) salah satu contoh penggunaan pribahasa ini adalah saat berdiskusi/berdebat. Kutip ucapan orang yang menurut kita benar, pikirannya sejalan, atau menjadi sumber inspirasi dari kita. Insya Allah, hal itu akan menguatkan pendapat kita, membuat orang tersebut dihargai (karena kita mengutip pendapatnya), dan membuat orang tersebut tidak merasa diserobot karena kita mengkoar-koarkan gagasan yang sudah dia ajukan. Meskipun akhirnya penyampaian kita yang dianggap sebagai pembawa gagasan, orang yang mengusung opini perdana tersebut tidak akan tersinggung, insya Allah.
Masih ingat sejarah Fathul Makkah (pembebasan kota Makkah)? Pada saat kota Makkah sudah benar-benar ada dalam naungan Islam, Rosulullah Muhammad SAW berdiri di Masjidil Haram dan berkata bahwa barang siapa yang berada di rumahnya maka ia aman, barang siapa berada di rumah Abu Sofyan maka dia aman, barang siapa berada di Masjid Al Harom maka dia aman. Sedikit berpikir lebih dalam, mengapa nama Abu Sofyan di bawa-bawa. Padahal cukup dengan mengatakan bahwa siapa saja akan aman bial berada di dalam rumah ataupun Masjidil Harom. Mungkin, jawaban versi orang awam saya, Rosulullah SAW masih menghormati kedudukan Abu Sofyan di tengah masyarakat Qurasy. Beliau memang dengan tegas mengatakan bahwa saat itu, pemerintahan Makkah ada ditangan kaum Muslimin tetapi beliau juga tetap menjaga agar para pemimpin kota Makkah terdahulu tidak tercoreng mukanya. Sunggu contoh “penaklukan” yang indah. Penaklukan tanpa darah. Banter tan mbancangi, dhuwur tan ngungkuli.
Ya…, itu hanya pelajaran Ø(. . ) . Akan tetap jadi pelajaran kalau tidak diamalkan .
Semoga bermanfaat .

0 komentar: